TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tengah membentuk tim pengawas penyelesaian konflik dan sengketa tanah/agraria. Tim pengawas tersebut terdiri atas anggota lintas komisi di DPR. "Tim terdiri dari Komisi I, II, III, IV, V, dan Komisi VII. Tiap fraksi saat ini sudah mengajukan nama yang akan masuk tim itu," kata anggota Komisi Pemerintahan DPR, Gamari Sutrisno, dalam diskusi di Seknas Fitra, Hotel Ibis, Jakarta, Jumat, 22 Juni 2012.
Menurut Gamari, tim pengawas dibentuk karena masih banyaknya persoalan konflik tanah yang belum terselesaikan. Selain itu, terkait pula dengan persoalan reforma agraria yang menjadi agenda pemerintah yang hingga saat ini belum jelas realisasinya. "Kami melihat tidak adanya keseriusan dari Badan Pertanahan Nasional periode lalu. Banyak konflik terjadi, termasuk di institusi TNI," katanya.
Politikus dari Partai Keadilan Sejahtera ini berharap dengan digantinya Kepala BPN oleh mantan Jaksa Agung Hendarman Soepandji, maka akan memberikan harapan penyelesaian konflik tanah dan terbukanya akses informasi soal pertanahan kepada publik. Menurut dia, saat BPN dipimpin oleh Joyo Winoto, DPR kesulitan untuk mendapatkan informasi terkait masalah pertanahan.
"Saat DPR minta data jumlah tanah untuk program reforma agraria dan konflik soal pertanahan saja, Joyo bilang itu rahasia. Menurut kami itu aneh. Semoga pimpinan baru BPN bisa lebih terbuka," katanya.
Konflik tanah hingga saat ini memang masih kerap terjadi. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pada tahun 2011, ada 8.307 kasus konflik agraria, yang 4302 kasus di antaranya dinyatakan telah diselesaikan. Walhi juga merilis data konflik tertinggi di setiap daerah di Indonesia.
Dalam data tersebut, konflik agraria paling banyak terjadi di Sumatera Barat, yaitu 883 kasus, di Sulawesi Selatan 780 kasus, Jawa Barat, 749 kasus, Jawa Tengah 532 kasus, Bali 515 kasus, Jawa Timur 400 kasus, Nusa Tenggara Timur 335 kasus, Sumatera Utara 331 kasus, Banten, 324 kasus, dan Kalimantan Timur 242 kasus.
"Reforma agraria belum berlangsung. Ada ketidakjelasan jumlah tanah di pemerintah. Kasus-kasus antara tentara soal tanah juga kerap terjadi. Selain itu, BPN perlu membentuk pejabat pengelola informasi dan data. Ini penting untuk akses publik," kata aktivis Walhi, Mukri Friatna.
ANGGA SUKMA WIJAYA