TEMPO.CO , Kairo -Lima ratus hari setelah mereka menumbangkan orang kuat Mesir, Husni Mubarak, rakyat Mesir akhirnya akan memiliki seorang presiden baru pada Ahad 24 Juni 2012, malam ini, yang pertama kali terpilih secara bebas. Apakah dari Ikhwanul Muslimin atau seorang mantan jenderal yang sepanjang hidupnya berkarier di ketentaraan.
Hasil dari pemilu babak kedua pada pemilihan presiden 16-17 Juni lalu akan diumumkan Komite Pemilihan Umum dalam konferensi pers pada pukul 3 sore waktu setempat atau pukul 20.00 WIB akan bersejarah bagi Mesir dan Timur Tengah. Banyak yang memperkirakan bahwa kandidat kubu Islamis, Mohamed Morsy, akan menjadi kepala negara terbesar Arab tersebut, mendobrak kawasan setelah beberapa dekade penguasa militer yang didukung Barat, bahkan jika angkatan bersenjata belum memberikan kendali mereka.
Ikhwanul mungkin akan bereaksi dengan marah jika kandidat Ahmed Shafik, mantan komandan Angkatan Udara Mesir dan sekutu Mubarak, menang. Kemenangan calon independen tersebut bagi banyak rakyat Mesir dan jutaan warga Arab di kawasan akan memicu kecemasan terkait dengan revolusi Arab Spring tahun lalu. Meskipun dia melontarkan jaminan, juga menginginkan pemerintahan yang terbuka.
Setelah sepekan gelombang protes di Lapangan Tahrir, Kairo, dan saling tuding antara para rival pendukung kedua kandidat, presiden baru akan memikul beban berat dengan kekuasaan lebih sedikit dibanding para kandidat pada pemilihan putaran pertama pada Mei lalu. Meskipun Dewan Militer (SCAF) menjanjikan akan menyerahkan kekuasaan kepada sipil pada 1 Juli, saat ini terjadi kekosongan parlemen dan konstitusi.
Seorang presiden Mesir Islamis akan menjadi langkah bersejarah bagi Timur Tengah, yang tak terpikirkan dalam 18 bulan lalu. Ini jauh dari terkonfirmasi. Tapi militer, Ikhwanul, dan para pejabat tinggi lain sempat memberi sinyal hal itu akan terwujud.
Morsy, kandidat berusia 60 tahun dengan pendidikan insinyur Amerika Serikat dan tahanan politik di bawah Mubarak, beberapa hari lalu mendeklarasikan kemenangan setelah sehari pemungutan suara ditutup pada Ahad lalu, sebuah langkah yang dikecam oleh para jenderal. Kemudian dengan percaya diri dia siap bertemu dengan kelompok-kelompok lain dan akan menyusun pemerintahan koalisi nasional.
Partainya, Partai Kebebasan dan Keadilan, dalam pernyataan kemarin menyatakan akan menyerukan "seluruh partner nasional dari seluruh gerakan untuk mengambil bagian dalam kerangka nasional, menjamin keberhasilan yang telah diraih dan partisipasi aktif mereka dalam membangun negeri untuk kemajuan bersama".
Salah satu yang terlibat di kubu Morsy, Abdel Gelil Mostafa, reformis dari Asosiasi Nasional untuk Perubahan, kepada Reuters, Sabtu 23 Juni, menyebutkan, "Kami sepakat pada sebuah program umum, khususnya jika Morsy menang. Semuanya masih mungkin. Tapi kami akan tahu besok."
Kontras dengan pendukungnya, Ahmed Shafik, 70 tahun, yang merupakan perdana menteri terakhir Mubarak, tetap rendah diri, meskipun secara terbuka pada Kamis lalu dia percaya diri menang.
Kemenangan Shafik, yang memperoleh dukungan luas dari banyak orang yang memutuskan mereka menolak kuasa berdasarkan religius, bisa memicu protes dari gerakan Islamis yang terorganisasi rapi, di mana pasukan keamanan dan militer akan berkonfrontasi di jalanan.
Politikus reformis, Mohamed ElBaradei, menyatakan dia telah melakukan kontak dengan militer dan kubu Morsy untuk mencegah suatu bentrokan. Namun dia tetap cemas soal itu. Jika Shafik dideklarasikan menang, "Kami bisa berada dalam instabilitas dan kekerasan... suatu pemberontakan luas." Pernyataan itu dikemukakannya di CNN pada Sabtu, 23 Juni 2012.
Reuters | CNN | Dwi Arjanto