TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah pada Jumat lalu ditransaksikan kembali melemah 12 poin (0,13 persen) ke level 9.494 per dolar AS. Rupiah bahkan sempat terpuruk hingga ke 9.518 per dolar AS, tapi dapat diredakan oleh Bank Indonesia. Secara akumulatif, sepanjang pekan lalu, rupiah telah terdepresiasi 96 poin (1 persen) dibanding minggu sebelumnya.
Pengamat pasar uang dari Bank Himpunan Saudara 1906, Ruly Nova, mengatakan ketidakpuasan pelaku pasar terhadap data ekonomi Negeri Abang Sam menguatkan kembali posisi dolar AS. Di pasar mata uang, hanya dolar AS yang dianggap sebagai tempat yang memiliki risiko paling kecil untuk investasi saat ini.
Tidak adanya indikasi yang jelas Bank Sentral AS (The Fed) untuk mengucurkan stimulus tambahan melalui pelonggaran kuantitatif lanjutan (QE3) membuat para pelaku pasar kembali cemas. Ini artinya aliran dolar AS yang bakal masuk ke pasar regional akan terbatas. “Akibatnya, investor asing kini mulai melakukan restrukturisasi modalnya di pasar berkembang, termasuk Indonesia,” tuturnya.
Dari dalam negeri, dorongan pelaku pasar untuk memburu dolar terlihat dari derasnya dana asing yang keluar dari bursa domestik pada Jumat lalu sebesar Rp 462,9 miliar. Tekanan jual yang sama tampak dari bursa-bursa utama Asia yang ditutup melemah serentak akhir pekan lalu.
Karena itu, menurut Ruly, pekan ini perhatian investor akan kembali ke masalah Eropa sambil berharap ada sentimen positif yang mampu meredakan gejolak di Benua Biru. Dia memprediksi, pekan ini rupiah akan ditransaksikan cenderung melemah dan tidak jauh-jauh dari kisaran 9.500 per dolar AS.
Pergerakan mata uang lokal masih bergantung pada perkembangan situasi di Eropa serta BI yang tetap konsisten dalam mengawal pergerakan nilai tukar rupiah. “Upaya bank sentral sudah cukup maksimal, yakni inflasi tetap terjaga, kurs rupiah juga masih berada di kisaran yang sesuai dengan asumsi APBN,” ucapnya.
PDAT | M AZHAR