TEMPO.CO , Jakarta:Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyatakan kenaikan harga gas disebabkan posisi Perusahaan Gas Negara merangkap transporter dan trader gas. "Harusnya direposisi sebagai transporter gas (saja)," ujarnya, Ahad, 24 Juni 2012.
Rangkap peran ini dianggapnya melanggar Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No 19/ 2009 tentang kegiatan usaha gas bumi melalui pipa. Dalam pasal tersebut dijelaskan, badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi dilarang melakukan kegiatan usaha pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan peran rangkap ini PGN dituding melakukan aksi monopoli. "Industri dan pengusaha gas tunduk pada PGN. Ini saya kira tidak sehat," ujarnya.
Menurut dia, praktek ini merugikan industri hulu migas. Alasannya, harga yang dibeli oleh PGN cenderung rendah dalam kisaran US$ 5 per mmbtu. Mereka lalu menjualnya dengan harga US$ 10 sampai US$ 11 per mmbtu. Kenaikan gas disebabkan oleh selisih yang tinggi ini. Ketika industri hulu menaikan gas, PGN akan menyesuaikan.
Komaidi pun memberi prediksi harga gas bila PGN hanya merangkap sebagai transporter. "Harga jual ke industri harusnya dalam kisaran US$ 7 sampai US$ 8 per mmbtu," ujarnya.
Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara Said Didu dalam akun twitternya membela keputusan PGN untuk menaikkan harga gas. Ia menyebut tentangan terhadap kebijakan tersebut seperti menjepit posisi Badan Usaha Milik Negara tersebut. "Jika pemerintah mau harga gas murah ke swasta atau asing jangan PGN yg dijadikan korban," kicaunya.
Ia memberi keterangan bahwa posisi PGN saat ini seperti dalam kepungan pemerintah dan industri. Kepungan itu berbentuk tuntutan menaikkan harga beli gas dan menurunkan harga jual ke industri swasta dan asing. "Sangat tidak adil," ia menegaskan.
Ia memberi kronologis singkat tentang pembelian gas oleh PGN. Pembelian dilakukan dari gas milik pemerintah dan kontraktor gas dengan harga yang ditetapkan. Lalu PGN diminta membeli dengan harga sekitar US$ 6 per mmbtu. "Sementara asing masih ada yang beli sekitar US$ 3 per mmbtu," kata dia.
Namun saat dimintai konfirmasi, Said tak kunjung mengangkat telepon dan memberi balasan atas pesan singkat yang dikirim Tempo.
M. ANDI PERDANA
Bisnis Terpopuler
Merpati Siap Laporkan Temuan Korupsi
Bunga Kartu Kredit Diprediksi 2,5 - 3 Persen
Harga Karet Anjlok, Warga Jambi Menjerit
Kepemilikan Saham Bank Dibatasi 40 Persen
BP Migas : PGN Naikkan Harga Gas Terlalu Tinggi
CIMB Niaga Luncurkan Produk Pasar Uang Syariah
Harga Gula Di Palangkaraya Tembus Rp16 Ribu per Kilogram