TEMPO.CO, Jakarta -Fenomena lukisan reproduksi, palsu, di Indonesia mungkin sudah berlangsung lama, mungkin lebih dari 20 tahunan. Pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Agus Burhan, menilai maraknya fenomena ini karena permintaan pasar yang melebihi batas kewajaran.
Menurut Agus, fenomena ini tak lepas dari kebutuhan bisnis. Ada fenomena dahsyat permintaan pasar. Seni lukis juga sebagai bagian industri budaya dihidupkan oleh sistem yang bertumpu pada pasar. Mekanisme pasar berjalan seperti biasa.
Saat ini, kata Agus, permintaan sangat kuat karena tren internasionalisasi di kawasan Asia Pasifik. Balai lelang semacam Sotheby's dan Christie menjadi pendongkraknya. Art dealer pun terpengaruh mereka.
“Permintaan yang sangat kuat, sehingga dunia seni bekerja melebihi batas,” ujar Agus ditemui pertengahan Mei lalu saat Tempo menelusuri jejak lukisan palsu.
Geger gosip lukisan palsu menerpa kolektor besar Oei Hong Djien, pemilik dua museum besar di Magelang. Hal ini merebak setelah pembukaan museum keduanya di Jalan Jenggala Magelang.
Agus yang menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik ini juga menjelaskan lukisan perupa Indonesia sudah naik daun. Karya-karya mereka sudah mulai ditabung oleh para dealer, balai lelang. Lukisan para maestro pun masih diburu orang di balai lelang. Tak mengherankan jika pasar lalu berusaha memasok kebutuhan ini dengan berbagai cara. Menurutnya jika permintaan pasar pada karya maestro ini tidak wajar, maka akan memunculkan banyak kejahatan.
Kejahatan yang dimaksud adalah memalsukan atau memproduksi ulang lukisan maestro. Juga permainan harga yang tidak normal karena dibentuk oleh balai lelang bukan alami karena reputasi seniman.
Agus mengaku tak mengetahui peta kejahatan pemalsuan lukisan para maestro ini. Untuk mengetahui besarnya pemalsuan ini dibutuhkan penelitian. "Gejala itu ada di banyak tempat," ujarnya.
Dia menyebutkan sejumlah pemalsuan karya I Nyoman Gunarsa, Arie Smith, Affandi, dan pelukis lain lain. Menurutnya ada jaringan yang bekerja sungguh-sungguh untuk siap bertarung di dunia ini.
Pria yang pernah menjadi kurator di Galeri Nasional ini mengatakan harus segera ada pendidikan yang berkonsentrasi pasa metodologi penilaian pada lukisan.
"Ini untuk mempertanggungjawabkan keaslian suatu lukisan," ujarnya. Di Eropa, ilmu ini sudah berkembang. Jadi tak aneh bila muncul ahli karya lukisan Van Gogh atau pelukis lainnya.
Sementara di Indonesia ilmu semacam ini belum dipakai. Di Indonesia penilaian dilakukan oleh seseorang secara otodidak. Belum berdasarkan tinjauan akademik bahkan hingga uji forensik. Menguji karbon untuk melihat layer-layer, goresan cat, cat yang digunakan, kanvas yang dipakai.
Sayangnya, kata dia, meski kekurangan ahli, lembaga pendidikan dan infrastruktur di Indonesia masih belum tersedia. Infrastruktur ini belum bergerak untuk menyiapkan para ahli yang bisa menilai dengan ilmunya.
DIAN YULIASTUTI/ADDI M IDHOM
Berita terpopuler:
Dahlan Sumbang 6 Bulan Gajinya untuk Gedung KPK
Irwandi Dipukul Usai Pelantikan Gubernur Aceh
Istri Biarkan Suami Perkosa Pembantu
Gaji Dahlan Juga Dihibahkan untuk Ricky Elson
Tunggu Dahlan, Bupati Pangkep Duduki Semen Tonasa