TEMPO.CO, Jakarta-Otonomi daerah yang berlangsung sejak era reformasi di Indonesia ternyata hanya dinikmati segelintir elit di daerah. Pakar otonomi daerah dari University of Canberra, Mark Turner, menegaskan bahwa harapan akan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah setelah puluhan tahun di bawah sistem kekuasaan yang terpusat di Jakarta belumlah terwujud. "Belum ada keuntungan untuk masyarakat di daerah,” ujar Turner, dalam diskusi Forum Indonesia di Canberra, Rabu 26 Juni 2012 sore.
Turner mengatakan persoalan “gagal”-nya desentralisasi bukan karena masalah teknis pelaksanaan tapi lebih pada masalah politik. Oleh sebab itu ia mendorong pemerintah pusat untuk mengontrol para politisi lokal yang menikmati wewenang besar untuk mengendalikan jalannya pemerintahan sehingga tujuan desentralisasi bisa terwujud. Selain hanya dinikmati segelintir elit, wewenang—terutama dalam pengelolaan APBD—yang sangat besar juga kerap memicu pertikaian antar elit dan partai politik yang berebut kekuasaan.
Menurut, Akhmad Akbar Susamto, peneliti yang berkecimpung di bidang otonomi daerah, seharusnya partai politik menjadi jembatan dialog antara pemerintah dan masyarakat sehingga tercapai kebijakan yang menuju kesejahteraan bersama. “Partai politik di Indonesia masih banyak yang belum memiliki visi yang jelas sehingga keputusan politik, ekonomi, dan sosial di daerah menjadi tidak jelas pula,” kata Akbar yang sedang menempuh program doktoral di Australian National University
Diskusi Forum Indonesia merupakan kegiatan bulanan yang berlangsung di Canberra dan dipelopori sejumlah mahasiswa Tanah Air yang sedang menempuh pendidikan lanjutan di kota itu. Adapun tema yang dibahas merupakan topik-topik hangat yang sedang dibicarakan di Indonesia. “Kami berusaha memberi solusi untuk Indonesia yang lebih baik,” kata Ketua Forum Indonesia, Ratih Maria Dhewi, mahasiswa program Phd University of Canberra yang meneliti seluk beluk sumber daya manusia Indonesia, dalam rilis yang diterima Tempo.
ADEK MEDIA (SIDNEY)