TEMPO.CO , Jakarta -Mahkamah Agung Pakistan, Rabu, 27 Juni 2012, meminta Perdana Menteri yang baru, Raja Pervez Ashraf, menanggapi hingga 12 Juli mendatang atas perintah mereka membuka kembali kasus gratifikasi di Swiss terkait dengan Presiden Asif Ali Zardari. Soal itu memicu mantan Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani tersingkir pekan lalu.
Tiga hakim Mahkamah Agung yang dipimpin Menteri Kehakiman Nasir-ul-Mulk kembali mengingatkan Jaksa Agung Irfan Qadir bahwa mantan Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani telah terbukti bersalah lantaran menghina pengadilan dan dihukum karena menolak bertindak untuk memenuhi perintah pengadilan untuk mengungkap kasus-kasus korupsi.
Gilani pernah menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa bertindak selama presiden memiliki kekebalan hukum di Pakistan dan luar negeri. Tak lama setelah dilantik pada Ahad lalu, dikatakannya bahwa Partai Rakyat Pakistan (PPP) sudah jelas tidak akan menulis sepucuk surat kepada otoritas Swiss untuk membuka kembali kasus-kasus terhadap Zardari. Ashraf menuturkan dirinya tak berbeda dengan Gilani dalam soal itu.
Terkait dengan hal tersebut dan masalah gerilyawan Taliban dan lainnya, Dwi Arjanto dari Tempo menemui Duta Besar Republik Islam Pakistan, Sanaullah. Berikut ini petikan perbincangan di Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta, Senin 25 Juni lalu.
Soal pembukaan kasus korupsi terhadap Presiden Zardari, bagaimana?
Kasusnya masih bergulir di pengadilan. PM menyebutkan ini di luar mandatnya. Sebab, konstitusi tak mencantumkan dan adanya kekebalan di jabatan presiden, sehingga dia menyatakan, jika menulis surat itu, maka dia melanggar konstitusi. Perdana Menteri yang baru, Raja Pervez Ashraf, adalah anggota partai PPP. Dia juga anggota parlemen lewat pemilihan umum, jadi sah.
Bagaimana kelanjutan kasus itu? Pekan depan kabarnya ada sidang dengar pendapat lagi?
Saya tidak bisa berspekulasi. Masih dalam proses pengadilan. Apakah dia akan mematuhi perintah atau tidak, ini spekulatif. Saya tak ingin menduga-duga.
Ada yang bilang solusinya pemilihan umum dipercepat, menurut Anda?
Itu adalah hak prerogatif partai berkuasa. Keputusan dari pemerintah. Keputusan tergantung pada para pemimpin, presiden, dan perdana menteri. Konstitusi menyatakan tidak lebih dari Maret tahun depan. Dipercepat bisa saja. Batas waktunya Maret 2013 nanti. Hanya dalam perang atau bencana nasional, pemilihan umum bisa ditunda 3-6 bulan.
Menurut Anda, bagaimana masa depan Taliban di Afganistan?
Al-Qaeda tidak eksis di Pakistan. Taliban ada (di Pakistan), beberapa di antara mereka. Saya tidak tahu di mana, tapi mereka bersembunyi. Taliban tidak begitu kuat. Dan mereka lemah.
Seorang pejabat Afganistan mengatakan Pakistan menjadi persembunyian Taliban. Benarkah?
Saya luruskan, pernyataan itu dari pejabat Amerika Serikat. Pakistan telah meminta mereka (NATO) membuktikan dan berbagi dokumen. Di mana pun mereka, kami akan memburunya. Beda lagi dengan kelompok Haqqani. Haqqani berada di Afganistan. Semua operasinya di sana. Mereka melakukan aneka kejahatan. Maka ini adalah tugas NATO. Mereka gagal, lalu menyalahkan Pakistan. Padahal Pakistan tak bisa bertanggung jawab soal kegagalan NATO. Saya sebutkan terdapat 34 ribu orang Pakistan yang tewas oleh militan, Taliban, dan teroris Al-Qaeda sejak 2000 hingga hari ini. Kami juga telah menciduk 700 ekstremis, Taliban, dan Al-Qaeda.
Berikutnya, bagaimana hubungan bilateral Pakistan-Indonesia sejauh ini?
Bagus. Tetapi masih ada beberapa problem. Di antaranya masalah penandatanganan perjanjian ekonomi pada Februari lalu. Kami sudah menekennya. Tapi proses ratifikasi di sisi Indonesia terlalu lambat. Begitu lambat. Mestinya berlaku Mei, tapi kini Juni sudah habis. Mau bulan Juli. Harusnya ekspor impor Pakistan ke Indonesia naik, tapi sampai sekarang implementasinya belum. Padahal perjanjian sudah diteken.
Bandingkan dengan Malaysia, kami meneken perjanjian ekspor-impor minyak sawit setelah 4 tahun berunding. Kami sudah memberikan persetujuan ke Indonesia tanpa menunggu terlalu lama. Saya frustrasi.
Masalah lain, kami mempunyai dua warga negara Pakistan yang dihukum mati karena kasus narkotik. Salah satunya, Zulfikar Aly, benar-benar tak bersalah. Hal itu hasil dari penyelidikan internal Kementerian Hukum dan HAM Indonesia. Namun tak ada yang membebaskannya. Kami tak pernah mengintervensi kasus itu. Hasil penyelidikan internal Kemhum tahun lalu demikian itu.
Warga Pakistan satunya lagi adalah Muhammad Abdul Hafeez, yang ditangkap karena menyelundupkan narkotik saat tiba di Jakarta pada 26 Juni 2001. Tiba-tiba bulan lalu kami tahu akan dieksekusi pada 1 Juli 2012 ini. Seharusnya mereka (Kemhum) mengabari kami. Mereka seharusnya memberikan akses konselor. Paling tidak berdasarkan hak-hak asasi manusia memberikan kesempatan terakhir kepada keluarganya untuk menjenguknya.
Mengapa rezim visa di Indonesia sangat ketat terhadap orang Pakistan?
Saya tidak membela warga tersebut. Indonesia menghukum mati silakan. Tapi dia seharusnya diperlakukan sebagai manusia. Ijinkan keluarganya menemui untuk terakhir kalinya. Saya sudah mengirim surat kepada Menteri Hukum dan HAM pada dua pekan lalu, tapi hingga sekarang belum ada tanggapan. Mestinya ketika akan dihukum mati, diinformasikan segera. Tak ada yang berbicara kepada kami.
***
Berita Lainnya
Kongres Argentina Setuju Nasionalisasi YPF
Senat Argentina Setuju Nasionalisasi Perusahaan YPF
Inggris Kecam Pendemo Kepulauan Falklands
Argentina Gugat Perusahaan Inggris di Falkland
Tabrakan Kereta di Argentina Tewaskan 49 Orang