TEMPO.CO, Yogyakarta- Mohammad Sobary geram bukan kepalang. Minimarket waralaba berjamuran di mana-mana. Dan sejak itu, satu per satu toko dan pasar tradisional ditinggal pembeli. “Kurang ajar sekali itu namanya Alfamart dan Indomaret, dia kuasai gang-gang tempat kita tinggal,” katanya dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, Kamis, 28 Juni 2012. Suaranya keras, nadanya meninggi.
Budayawan yang tinggal di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu, terang-terangan menolak jika minimarket merupakan simbol modernitas. Baginya modern adalah kemudahan. Sedangkan minimarket tak memberikan kemudahan apapun bagi usaha kecil.
Di Yogyakarta, ada banyak minimarket waralaba. Mereka berlomba-lomba mengisi ruang di kanan dan kiri tiap ruas jalan. “Ini simbol pembunuhan ekonomi rakyat,” katanya geram.
Saking geramnya, Kang Sobary itu menyatakan kerap mengajak untuk tidak membeli produk apa pun di minimarket waralaba di tiap ada kesempatan berbicara di depan umum. Ia menyebutnya sebagai gerakan aman, nyaman dan diam. “Tinggal di rumah, jangan menginjakkan kaki di sana,” katanya.
Bagi dia, membeli barang kebutuhan di warung yang jorok yang mencerminkan realitas usaha kecil rakyat lebih baik ketimbang masuk ke minimarket. Masih ada interaksi sosial di sana. Pembeli dan penjual bisa melakukan tawar menawar harga. Kalau sedang tak ada uang, “Di warung sebelah bisa utang,” katanya disambut gemuruh tawa orang-orang.
Human Resource Management PT. Indomarco Prismatama DIY-Jawa Tengah Satrio Kendro mengatakan sah-sah saja jika muncul penolakan dari masyarakat. Termasuk pada Indomaret misalnya. Namun menurut dia, Indomaret telah memberikan dampak postifi terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan jumlah toko mencapai 394 di seluruh DIY-Jateng, Indomaret menyerap tenaga kerja sebanyak 4.894 orang. “Satu toko bisa 8 sampai 10 pegawai,” katanya.
Apakah jumlah itu sebanding dengan penurunan potensi pendapatan toko dan pasar tradisional yang hilang akibat tergerus minimarket? “Harusnya (itu tugas) pemerintah mensinergikan,” katanya. Pemerintah, menurut dia, tak hanya harus melindungi pedagang kecil tradisional, namun juga memberdayakan mereka. Baik dari sisi fisik dan sumber daya manusianya.
Sedangkan dua orang perwakilan Alfamart Yogyakarta, Suhardi dan Anton, menolak memberikan komentar tentang kebijakan perusahaan mereka. “Jangan saya,” katanya saat ditemui usai mengikuti rapat dengan Panitia Khusus Toko Modern Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta, sore ini. Mereka meminta Tempo menghubungi Budi Santoso, atasan mereka di Klaten. Namun, Budi pun enggan memberikan komentarnya. “Langsung (tanya) ke Jakarta saja,” katanya.
ANANG ZAKARIA