TEMPO.CO, Jayapura -Sebanyak 15 ribu warga Boven Digoel, Papua, yang tinggal di Papua Nugini, ingin kembali menjadi warga negara Indonesia. Mereka mengungsi ke negara tetangga pada tahun 1980-an akibat gejolak politik saat itu.
“Beberapa kepala keluarga sudah kembali ke Boven Digoel, tapi setelah masuk, mereka kecewa. Mereka hanya butuh rumah dan pekerjaan yang layak,” kata Albertus Kuwok, koordinator repatrian di Boven Digoel, Sabtu 30 Juni 2012.
Kuwok mengatakan, di tanah orang, warga Boven Digoel dari suku Muyu ini hidup seadanya. Beberapa anak tidak dapat mengenyam bangku sekolah sewajarnya. “Karena mereka tinggal di kampung, dulu paling banyak di sekitar Kiongga, daerah yang berbatasan langsung dengan Distrik Waropko, Boven Digoel,” ucap dia
Kuwok mengatakan, sudah ada 21 kepala keluarga yang pulang ke kampungnya di Boven Digoel. “Tapi ya itu, kami butuh perhatian. Saya bicara ini karena kami mau kembali ke Indonesia, sekarang bagaimana pemerintah mau membangun tempat tinggal dan menyediakan kerja.”
Menurut Kepala Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel, Fransiskus Komon, menjadi tugas pemerintah untuk memulangkan warganya. “Kalau tidak salah, sudah ada beberapa kali secara bertahap repatrian dipulangkan, memang tidak bisa sekaligus,” katanya.
Baca Juga:
Fabianus Sabi Senfahagi, Kepala Bidang Linmas Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Boven Digoel, mengatakan belasan ribu warga selama kurang lebih 25 tahun tinggal di PNG. “Pemerintah siap memulangkan mereka, tinggal bagaimana pemerintah Boven Digoel bekerja,” katanya.
Masalah utama memulangkan warga karena Boven Digoel tidak memiliki pejabat daerah definitif. “Bupatinya dipenjara, wakilnya ada, tapi tidak memiliki kewenangan penuh, sekdanya juga hanya pelaksana tugas, ini jadi masalah,” ucapnya.
Kabupaten Boven Digoel dimekarkan dari Merauke berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002. Terdapat tiga suku besar yang menempati daerah bersejarah itu, yakni Wambon, Muyu serta Auyu.
Di masa lalu, Boven Digoel dengan ibu kotanya Tanah Merah merupakan lokasi “kamp konsentrasi” bagi para tahanan politik di masa pra-kemerdekaan RI. Beberapa pejuang nasional pernah dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke sana, antara lain Bung Hatta, Sayuti Melik--pengetik naskah Proklamasi--Sutan Syahrir, dan Mas Marco Kartodikromo.
Sebelumnya 6.000 warga Papua yang bermukim di sekitar wilayah perbatasan berniat pula pulang ke Indonesia. Mereka menempati Kampung Wenes Wenda, yang terletak antara Kampung Yabanda dan Waris, Kabupaten Keerom di perbatasan RI-PNG. Pemerintah Kabupaten Keerom Papua siap menyediakan rumah bagi para repatrian.
JERRY OMONA