TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai data ekonomi global ataupun domestik yang akan dirilis pada awal Juli akan mempengaruhi pergerakan rupiah pekan ini. Penjagaan Bank Indonesia kembali menentukan laju rupiah.
Jumat lalu, rupiah ditransaksikan menguat 61 poin (0,64 persen) menjadi 9.433 per dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, dalam sepekan kemarin, rupiah juga menguat 61 poin (0,64 persen) dibanding minggu sebelumnya.
Apresiasi rupiah tidak terlepas dari sentimen positif hasil pertemuan para pemimpin Uni Eropa akhir pekan lalu. BI, yang selalu berada di pasar, juga turut menyelamatkan rupiah sehingga bisa menjauh dari level 9.500 per dolar AS, di tengah tingginya permintaan dolar menjelang akhir.
Pekan ini adalah pekan krusial bagi rupiah. Pasalnya, rupiah akan diuji kembali oleh maraknya rilis data ekonomi global ataupun domestik yang diprediksi melemah akibat perlambatan ekonomi global dan krisis utang Eropa. “Yang dicemaskan pelaku pasar adalah data pengangguran Eropa yang diprediksi meningkat menjadi 11,1 persen dari sebelumnya 11 persen,” kata Apressyanti Senthauri, analis Treasury Research Bank BNI.
Meningkatnya angka pengangguran di Eropa akan berdampak buruk bagi ekonomi global, karena banyak pasar berkembang, seperti Asia, yang mengandalkan konsumsi Eropa.
Data ekonomi dalam negeri juga akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah, terutama inflasi dan neraca perdagangan. “Inflasi diprediksi masih terkendali mengikuti turunnya permintaan pasar. Namun ekspor masih terhambat oleh kontraksi ekonomi global akibat krisis Eropa,” ucapnya.
Pekan ini rupiah masih dibebani oleh data ekonomi global. Karena itu, peran BI yang selama sepekan terakhir konsisten menjaga rupiah di pasar uang kembali dibutuhkan. Dengan intervensi BI, rupiah masih akan melakukan konsolidasi dengan kecenderungan menguat di kisaran 9.400-9.480 per dolar AS.
PDAT | M AZHAR