Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDNI) memperkirakan ekspor masih akan tertekan atau mengalami kontraksi (turun) 6,6 persen (year on year). Sedangkan impor akan mengalami penurunan tajam 9,8 persen (year on year).
Berdasarkan itu, kami memperkirakan neraca perdagangan akan kembali mengalami surplus (ekspor lebih tinggi dari impor) dan akan mencapai rekor menjadi US$ 790 juta, kata Anton Hendranata, Ekonom Bank Danamon.
Dia menambahkan, perlambatan permintaan global ditandai dengan turunnya harga-harga komoditas di pasar internasional. Semua itu menekan kinerja ekspor, ujarnya.
Menurut dia, sampai saat ini belum ada peningkatan signifikan dari perekonomian negara-negara mitra dagang Indonesia, sehingga permintaan dari luar negeri masih akan melemah. Hal ini juga diperkuat dengan harga komoditas ekspor Indonesia.
Badan Pusat Statistik melansir laju ekspor April lalu turun 7,36 persen dibanding bulan sebelumnya. Nilai ekspor April hanya sebesar US$ 15,98 miliar, lebih rendah dibanding Maret lalu yang sebesar US$ 17,26 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik Suryatmin sebelumnya mengatakan penurunan ekspor terjadi untuk produk migas dan nonmigas. Nilai ekspor migas turun dari US$ 3,49 miliar pada Maret lalu menjadi US$ 3,36 miliar. "Sedangkan ekspor nonmigas juga turun. Pada Maret, nilainya US$ 13,77 miliar menjadi US$ 12,62 miliar," ujarnya kemarin.
Negara tujuan ekspor terbesar masih didominasi Cina, dengan nilai seluruhnya mencapai US$ 7,04 miliar. Di posisi kedua adalah Jepang dengan nilai US$ 5,74 miliar, dan Amerika Serikat dengan US$ 4,8 miliar.
Di sisi lain, laju impor justru meningkat. Menurut Suryatmin, impor naik sepanjang April lalu sebesar 11,65 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga akhir April 2012, nilai impor telah menyentuh US$ 16,62 miliar. Sedangkan pada April tahun lalu, impor sebesar US$ 14,89 miliar. Dibandingkan dengan Maret 2012, nilainya juga melonjak 1,82 persen.
Grace S Gandhi