TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau terlalu membatasi gerak perusahaan rokok. Ketatnya aturan terlihat misalnya dari niat menutup ruang iklan rokok atau mengganti sekitar 40-50 persen bungkus rokoknya dengan himbaun ancaman bahaya merokok. Akibatnya, itu berpotensi menutup ruang gerak perusahaan dalam menawarkan produknya. "Seharusnya cukup diberi tahu ini akibatnya," ujarnya di Jakarta, Rabu, 4 Juli 2012.
Berkaca pada negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, larangan rokok hanya sebatas imbauan tidak mengarah ke tahap mematikan industri rokok secara nasional. "Sebenarnya ada hal yang bisa dilakukan supaya anak kecil jangan merokok, seperti alkohol, tetapi tidak mematikan usaha rokok," katanya.
Sofjan mengimbau pemerintah bijak dengan membuat aturan yang tidak mematikan industri rokok nasional. Meskipun ia menyetujui adanya aturan itu, pemerintah mesti hati-hati dalam penerapannya. "Tembakau itu di samping soal kesehatan juga soal tenaga kerja, pajak yang diberikan kepada pemerintah dan usaha masyarakat," ujarnya.
Sofjan menilai kalangan lembaga swadaya masyarakat di tiap negara memiliki agenda yang sama dalam menolak keberadaan rokok, namun hal itu tidak ada yang mengarah ke jalur penutupan seperti di Indonesia. "Walaupun dibatasi dengan segala cara, tetapi tetap diperbolehkan tidak dilarang seperti di negara kita," ujarnya.
Hingga kini kata dia, pendapatan dari sektor rokok nasional terbilang masih cukup besar, sekitar 10-15 persen pendapatan nasional masih disokong dari sektor ini. "Tak kurang dari Rp 80 triliun rokok memberikan pajak bagi negara," ujarnya.
JAYADI SUPRIADIN
Berita lain:
Puluhan Karyawan Trans TV Ditawari PHK?
Banyak Warnet Masih Bisa Akses Konten Porno
Kementerian Keuangan Terlibat Penerbitan Duit 2014
Alasan Trans TV Berencana PHK Karyawan
Krisis Eropa Berlanjut, Ekspor CPO Terancam