TEMPO.CO, Yogyakarta - Petani di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo mengajukan tiga tuntutan kepada DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terkait rencana penambangan pasir besi di wilayah itu. Sejumlah tuntutan itu rencananya disampaikan hari ini oleh 500 petani dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. "Tuntutan itu antara lain penolakan penambangan pasir besi, sertifikasi lahan, dan pembatalan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Pertambangan di pesisir selatan," kata Widodo, koordinator Paguyuban, Ahad, 8 Juli 2012.
Menurut Widodo, masih ada sekitar 1.500 hektare lahan di pesisir selatan yang digarap warga lebih dari 20 tahun. Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1960, lahan yang sudah digarap lebih dari 20 tahun bisa menjadi hak milik penggarap. Lahan yang akan masuk wilayah eksplorasi tambang pasir besi itu diklaim Puro Pakualaman sebagai Pakualaman Ground. Puro Pakualaman dan Keraton Yogyakarta memegang 30 persen saham perusahaan tambang PT Jogja Magasa Iron lewat PT Jogja Magasa Mining.
Tuntutan lainnya adalah penolakan terhadap penambangan pasir besi. "Penambangan itu jelas merusak lingkungan dan sudah menimbulkan keresahan puluhan ribu petani lahan pantai," ujar Widodo.
Penolakan petani sudah berlangsung lama dengan berbagai cara, mulai demonstrasi, pemblokiran jalan masuk pilot project, hingga upaya hukum. "Kami sudah mendatangi anggota DPR pada Januari lalu, tapi hasilnya nol," kata Widodo. Bahkan dia dituding bukan petani oleh Totok Daryanto, anggota DPR dari Yogyakarta.
Dia heran dengan tudingan politikus dari Partai Amanat Nasional itu. Padahal dia petani melon, semangka, dan cabai. "Kami menggeruduk DPRD Provinsi untuk meyakinkan mereka supaya pro-rakyat, bukan pro-investor yang merusak penghidupan kami," kata dia.
Padahal sebelumnya, pendiri PAN, Amien Rais, menolak mentah-mentah penambangan pasir besi di Kulon Progo itu karena hal itu untuk kepentingan asing dan merusak lingkungan. "Kan jelas sekali untuk kepentingan asing. Saya tidak setuju," kata Amien pada Juni lalu. Dia malah menyatakan bahwa ada agen-agen yang membela dan membenarkan investasi penambangan pasir besi itu. Perusahaan Australia Indo Mines Limited menguasai 70 persen saham PT Jogja Magasa Iron.
Adapun Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang digugat adalah pengalihan lahan pertanian, kawasan wisata, dan area perlindungan lingkungan kawasan pantai menjadi kawasan pertambangan. "Kami petani merasa diombang-ambingkan oleh pemerintah melalui peraturan daerah yang ditunggangi investor," kata Widodo.
Sementara itu, salah seorang pendukung petani pesisir Kulon Progo, Raden Mas Aji Kusumo, akan meluncurkan buku Pembelaan Tanah untuk Rakyat dan Pengkhianatan terhadap Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII. Dia akan menyerahkan buku itu kepada Kepolisian Daerah DIY hari ini. Setelah itu, kerabat Keraton Yogyakarta ini akan bergabung dengan petani pesisir Kulon Progo di DPRD DIY. Dia akan mengendarai sepeda motor dengan mata tertutup menuju DPRD. "Itu sebagai simbol melihat dengan hati," kata dia.
Sebelumnya, Aji Kusumo melaporkan Gusti Bandoro Pangeran Haryo Joyokusumo, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, atas dugaan pencemaran nama baik. Menurut dia, Joyokusumo, saat mensosialisasikan Sultan Ground dan Pakualaman Ground di Balai Desa Wates, Kabupaten Kulon Progo, pada 26 Februari lalu, mengatakan bahwa dia adalah kerabat keraton yang layak diwaspadai dalam penerbitan kekancingan tanah. Tiap pemohon kekancingan diduga ditarik uang Rp 2 juta dari yang seharusnya hanya belasan ribu rupiah. Namun Joyokusumo menolak menanggapi laporan Aji itu. "Biarkan saja," kata Joyokusumo saat itu. Joyokusumo dan Gusti Pembayun, anak Sultan, adalah komisaris PT Jogja Magasa Mining.
MUH. SYAIFULLAH