TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna mengaku gerah dengan sikap orang-orang yang mempertanyakan opini BPK atas laporan keuangan kementerian dan lembaga.
Pertanyaan makin kencang setelah mencuat kasus dugaan suap pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama. Padahal, tahun 2011, BPK memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP) atas laporan keuangan Kementerian Agama.
"Opini WTP kok dianggap lemah, itu tidak ada urusan lemah-melemah," ujar Agung saat ditemui Tempo di kantornya, Selasa, 10 Juli 2012.
Agung menjelaskan, pemeriksaan atas laporan keuangan memang belum secara khusus mengungkapkan kecurangan, ketidakpatuhan, dan penyimpangan lain. Namun, jika BPK menemukan penyimpangan, maka temuan itu akan diungkapkan di dalam hasil pemeriksaan. Kalau dipandang ada masalah, BPK melakukan pemeriksaan lanjutan.
"Jadi kalau kami memeriksa dan dipandang ada masalah, fitur pemeriksaannya itu ada, disebut Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT)," ujar Agung.
Ia menjelaskan, opini WTP didapat dari pemeriksaan awal yakni laporan keuangan. Syarat untuk memperoleh opini tersebut tidak mudah, khususnya berkaitan dengan Sistem Pengendalian Internal (SPI).
Tak semua entitas mampu merapikan laporan keuangan dengan cepat. Ada beberapa entitas di pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga yang butuh waktu setahun hingga tiga tahun sebelum mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian baru kemudian WTP.
Agung menjelaskan, alur pemeriksaan oleh BPK runut. Pertama adalah pemeriksaan keuangan. Di tahap ini auditor melihat kesesuaian standar yang digunakan untuk penyajiannya. “Apakah ada salah saji material, ketidakpatuhan, apakah semua transaksi sudah diungkap, apakah efektivitas SPI diperbaiki," ucapnya. Jika hasil pemeriksaan itu sudah terungkap baru, dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mendalami hal-hal khusus.
Ia membuat analogi pemeriksaan laporan keuangan seperti orang yang pergi bertamu. Di tahap awal yang penting adalah tamu melihat apakah hidangan yang disajikan sudah bagus atau belum, dan cara menyajikannya sopan atau tidak.
Setelah masuk ke pemeriksaan kinerja, barulah auditor datang ke “dapur”, memeriksa bagaimana cara tuan rumah memasak masak atau bahan yang digunakan. “Begitu kami melihat ada bahan yang bermasalah, kami periksa lagi, itu disebut Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu. Kalau masih bermasalah lagi, kami lakukan pemeriksaan investigatif," ujar Agung.
Ia menegaskan, opini WTP harus didorong. Alasannya, untuk mencegah korupsi yang terjadi di “hilir”, di bagian “hulu” harus didorong dengan akuntabilitas. Kalau akuntabilitas menjadi budaya, dipastikan korupsi bisa mengecil.
“Nah, kami mengurus di hulu supaya orang menyajikan laporan dengan baik, mengelola dengan baik, WTP salah satu indikatornya," ujar dia.
Untuk mendapat opini WTP, dikatakan Agung tak mudah, apalagi bagi pemerintah daerah. Penyebabnya, pemerintah daerah kebanyakan tidak memiliki sumber daya manusia yang kompeten dalam menyusun laporan keuangan.
Agung mengklaim sejak 2007 hingga 2011, BPK telah mengembalikan uang negara senilai Rp 55 triliun. Uang ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi BPK. "Total yang kami temukan Rp 100 triliun, Rp 55 triliun disetor ke kas negara, Rp 30 triliun kasusnya sedang diproses, Rp 15 triliun dalam proses pengembalian," dia menjabarkan.
EFRI RITONGA | SUNDARI | MARTHA THERTINA