TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan menilai industri yang memproduksi bahan tambahan pangan oleh produsen lokal masih minim. Padahal Wakil Ketua Umum Bidang Program dan Kerja Sama Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Lena Prawira, menilai prospek bisnis ini sangat menjanjikan.
Bahan tambahan pangan adalah bahan pelengkap dalam produksi makanan dan minuman. Bentuknya beragam ada pemanis, pewarna, pewangi, dan sebagainya.
"Pada 2011, sektor makanan dan minuman menyumbang Rp 650 triliun pendapatan negara dan 30 persennya dari BTP. Untuk 2012 ditargetkan Rp 700 triliun," kata Lena pada acara Food Ingredients Asia 2012 di Hotel Le Meridien, Selasa, 17 Juli 2012.
Sayangnya, kata Lena, produsen lokal hanya mampu menyediakan 20 persen kebutuhan BTP. Sedangkan sisanya masih harus impor dari sejumlah negara seperti Eropa, Amerika, dan India.
Lena mengatakan untuk berinvestasi dalam produksi BTP sebetulnya tidak sulit, hanya membutuhkan modal Rp 40 miliar sampai Rp 50 miliar. Apalagi, lanjut dia, ketersediaan bahan baku BTP di Indonesia melimpah.
"Selain itu, teknologi di Indonesia untuk pengembangan bidang ini juga mendukung," kata Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science Technology Institute Pertanian Bogor (IPB), Purwiyatno Hariyadi.
Saat ini IPB sudah menghasilkan banyak produk bahan tambahan pangan. Salah satunya yang saat ini sedang dikembangkan adalah minyak kelapa merah.
Menurut Purwiyatno, salah satu penyebab tidak berkembangnya produksi bahan tambahan pangan lokal adalah pola pikir masyarakat Indonesia yang lebih suka sebagai penjual. "Mereka belum melihat jauh ke depan," kata dia.
Pemerintah juga dinilai belum bisa melindungi produksi BTP. Saat ini ada regulasi yang membatasi penggunaan bahan tambahan pangan maksimal yang sangat ketat dan mempengaruhi produksi bahan tambahan pangan nasional.
Di Indonesia saat ini baru ada 10 perusahaan yang bergerak di bidang produksi BTP. Salah satunya PT Sorini di bawah Aneka Kimia Raya yang memproduksi pemanis buatan jenis sorbitol.
SYAILENDRA