TEMPO.CO, Jakarta - Kebebasan pers yang digaungkan semasa reformasi tidak menjadikan kriminalisasi terhadap pers berkurang dibanding ketika Orde Baru. Sebaliknya, di masa terbukanya kesetaraan hak berpendapat itu, tingkat kriminalisasi pers justru menjadi lebih tinggi.
Menurut Pemimpin Redaksi (Pemred) Republika, Nasihin Masha, pelaku kriminalisasi pers justru semakin beragam, mencakup individu yang mengandalkan vandalisme maupun kekuatan modal korporasi. "Justru sekarang angka pembunuhan wartawan meningkat drastis," ujarnya usai Deklarasi Forum Pemred Indonesia, Rabu, 18 Juli 2012.
Nasihin mengatakan, sulu di zaman Orba, satu kasus pembunuhan wartawan saja yang menonjol, yaitu pembunuhan terhadap wartawan Harian Bernas, bernama Udin. Selain kekerasan secara fisik terhadap wartawan, institusi pers sendiri juga menghadapi ancaman pelecehan.
Nasihin mencontohkan, pernah terjadi sebuah kasus yang menimpa media di Sumedang, Jawa Barat. Karyawannya mendapat ancaman karena memajang berita utama yang menyinggung kelompok tertentu. "Dari office boy sampai awak redaksinya mendapat ancaman," ujarnya.
Secara statistik, hingga 30 Oktober 2011, Dewan Pers mencatat terjadi 57 kasus kekerasan terhadap wartawan. Sedangkan tahun sebelumnya, atau pada 2010, tercatat total 66 kekerasan yang dialami para wartawan di seantero Tanah Air.
Senada dengan Nasihin, Meidyatama Suryodiningrat, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post menyebutkan, ada dua bentuk kriminalisasi pers. Pertama, mengebiri kebebasan moral berpendapat. "Hak berpendapat dikriminalisasi," kata Dimas. Pihak yang ingin menjerat pers memaksakan delik hukumnya. "Kadang-kadang penggunaan undang-undang yang tidak tepat bisa digunakan untuk menjerat pers."
Kedua, lewat cara halus, yaitu kriminalisasi pers secara finansial alias pemiskinan perusahaan. Dimas mencontohkan, perusahaan media berskala sedang, selama ini kesulitan membiayai pengurusan kasus yang menjerat mereka. "Media digugat secara perdata. Itu butuh dana, misalnya untuk bayar pengacara. Sedangkan kasus bukan selesai dalam 3-bulan, bisa setahun. Lama-lama bangkrut."
Baik Nasihin maupun Dimas mengakui, para wartawan yang bertugas terkadang membuat kesalahan profesional. "Tapi bukan berarti itu pembenaran terhadap kriminalisasi, pelecehan, dan penistaan," ucap Nasihin. "Ada jalur resmi yang bisa ditempuh, misalnya melalui hak jawab. Itu yang harusnya dimanfaatkan, bukan kriminalisasi," kata Dimas.
Para pemimpina media ini mengaku siap untuk membenahi jika ada kekurangan kinerja profesional. Nasihin berkomitmen, "Jika ada masalah yang dikeluhkan soal profesionalisme, maka itu bagian dari tanggung jawab kami untuk perbaiki."
Untuk membentengi diri dari kriminalisasi, 55 pimpinan redaksi media terkemuka, hari mendeklarasikan terbentuknya Forum Pemred berskala nasional. Melalu forum itu, selain mecegah dan mengatasi kriminalisasi, para pemred bertekad mempertahankan independsi editorial media mereka masing-masing.
ATMI PERTIWI