TEMPO.CO, Semarang – Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, Istajib, mengaku dirinya menerima gaji dan tunjangan antara Rp 20-25 juta setiap bulannya. Namun, pendapatannya tersebut tetap tak tersisa untuk bisa ditabung. “Gaji dan tunjangan Rp 20-25 juta itu terus menerus bablas. Di dompet selalu habis,” kata Istajib kepada para wartawan, Sabtu, 21 Juli 2012.
Pemicunya, menurut Istajib, gaji itu selalu habis disumbangkan kepada kelompok-kelompok masyarakat. “Uang itu untuk kepentingan ke bawah. Masyarakat merasa dulu mendukung, maka mereka kemudian minta kepada saya,” kata Istajib. Di tingkat masyarakat, kata dia, sikap pragmatisme masyarakat sudah sedemikian tinggi.
Istajib mengaku tak pernah memberikan gaji kepada istrinya. “Kebetulan, istri saya sudah punya pekerjaan sendiri,” katanya. Gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang ia terima tiap bulan sekitar Rp 18 juta. Jika ditambah dengan sisa-sisa lumsum saat melakukan kunjungan kerja, pendapatan tiap bulannya sekitar Rp 25 juta. Pendapatan itu termasuk honor saat menjadi panitia khusus (pansus) DPRD Jawa Tengah.
Namun, Istajib mengaku gaji dan tunjangan hingga Rp 25 juta yang diterima tidak mencukupi jika dibandingkan dengan gaji yang ia terima pada saat menjadi anggita DPRD periode 1997. Saat menjadi anggota DPRD periode 1997-1999 itu, Istajib menuturkan hanya menerima gaji Rp 3 juta tiap bulan. Meski gaji saat itu kecil ternyata kondisi psikologisnya bisa lebih tenang.
Menurut Istajib, pangkal masalahnya ada di sistem pemilihan legislatif. Sistem nomor urut dalam pileg mengakibatkan semua calon berlomba-lomba menarik simpati dari pemilih. Parahnya, simpati itu timbul akibat jorjoran politik uang. “Siapa yang punya kapital besar bisa terpilih,” kata dia.
Pada saat yang sama, idealisme masyarakat juga menurun. Karena pada saat pencalonan menghabiskan duit besar, maka tak semua anggota DPRD memiliki kualitas baik. "Nggak semua anggota DPRD baik. Ada pula yang gragas (rakus),” kata Istajib.
ROFIUDDIN