TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Johny Nelson Simanjuntak mengatakan penyelidikan penembakan misterius atau petrus sebenarnya sudah direncanakan sejak awal Komnas HAM berdiri. Namun, ada perdebatan dari pemerintah apakah harus ada rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu sebelum memulai penyelidikan, atau justru sebaliknya.
"Kami sempat berdebat panjang dengan ketua Kejaksaan Agung yang waktu itu dipimpin oleh Hendarman Soepandji. Beliau bilang, kami harus mendapatkan rekomendasi dulu baru bisa memulai penyelidikan," kata Johny, Selasa, 24 Juli 2012.
Selain itu, karena peristiwa ini terjadi di masa lalu, walaupun sudah ada undang-undang tentang penyelidikan, penyelidik juga membutuhkan keputusan Presiden agar bisa menarik paksa ratusan orang dan menginterogasinya. Setelah perdebatan yang panjang, Komnas HAM baru bisa mendirikan tim Ad Hoc pada tahun 2008 dan memulai penyelidikan.
Sebelumnya, Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo membeberkan hasil penyelidikannya pada peristiwa penembakan misterius periode 1982-1985. Pada periode itu, pemerintah yang menganggap polisi telah gagal menertibkan kejahatan di Indonesia mulai menggunakan kekerasan dengan menghilangkan banyak nyawa, terutama preman.
"Kami sudah menyampaikan hasil penyelidikan kami dan telah disetujui pada sidang paripurna. Penemuan ini juga sudah kami serahkan ke Jaksa Agung. Jadi kami mohon agar Jaksa Agung bisa mengadili kasus ini," kata Yosep di kantor Komnas HAM.
Menurut penemuan tim yang dipimpin oleh Yosep, peristiwa penembakan misterius atau petrus berkaitan erat dengan konteks dan kondisi politik yang terjadi pada saat itu. Pada tahun 1982 sampai 1985, tingkat kriminalitas sangat tinggi hingga pemerintah merasa kondisi untuk pemilihan umum menjadi tidak aman. Pada saat itu pula, banyak preman yang tidak loyal pada "penguasa baru", sedangkan tatanan kekuasaan baru saja berubah.
"Menurut hasil penyelidikan kami, sasaran penembakan telah dipilih secara khusus, bahkan masuk target operasi," kata dia.
Kebanyakan orang yang menjadi sasaran adalah orang yang dinyatakan sebagai penjahat, gali, preman, dan residivis dengan tato, yang menjadi ciri-ciri yang paling menonjol. "Tato yang waktu itu paling terkenal adalah bunga mawar, kalajengking, atau pistol dan mawar, seperti simbol pada band Gun and Roses," ujar Yosep.
Teknik yang digunakan oknum penembak misterius pun cukup sadis. Biasanya, dengan berbaju loreng, mereka mendatangi ketua RT dan diminta diantar ke rumah sasaran penembakan. Jika si target menolak, target bisa ditembak di tempat, bahkan di depan keluarganya sendiri. Atau, jika keluarga menyembunyikan sasaran, petugas penembak mengancam akan membawa sang anak atau mengancam keselamatan sang istri.
Komnas HAM menyesali peristiwa itu karena didalangi oleh aparat TNI. Bahkan Presiden Soeharto dalam pidatonya menyebutkan langkah petrus adalah langkah untuk membuat preman kapok. Seperti dikutip oleh Komnas HAM, Soeharto mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan treatment yang tegas. Tegas tersebut harus dengan kekerasan. Yang melawan akan ditembak di tempat, lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Soeharto menambahkan, langkah tersebut juga sebagai shock therapy supaya masyarakat mengerti bahwa terhadap kejahatan masih ada pihak yang bisa bertindak dan mengawasinya.
Dari laporan yang diterima oleh Komnas HAM, jumlah korban yang meninggal atau hilang mencapai 10 ribu orang lebih.
ELLIZA HAMZAH