TEMPO.CO , Oslo - Organisasi konservasi internasional, World Wildlife Fund for Nature (WWF), telah merangkum laporan peringkat kepatuhan 23 negara yang terikat perjanjian internasional tentang perdagangan satwa liar. "Banyak negara menerima rapor merah," kata Colman O'Criodain, analis kebijakan perdagangan satwa liar WWF.
Peringkat dibagi menjadi tiga kategori nilai, yakni hijau, kuning, dan merah, sesuai dengan keberhasilan suatu negara mencegah perdagangan liar masing-masing satwa. Negara penerima rapor merah menandakan kegagalan menegakkan komitmen dalam perjanjian internasional perlindungan satwa liar.
Laporan berfokus pada upaya perlindungan tiga spesies paling dicari di pasar gelap internasional: gajah, harimau, dan badak. Laporan juga menganalisis dari negara mana ketiga satwa tersebut berasal, bagaimana jalur perdagangannya, serta negara apa saja yang menjadi tujuan penjualan satwa-satwa tersebut.
"Tiga spesies ini paling terancam dan paling banyak dibicarakan. Ketiganya berkaitan dengan masalah yang lebih luas," ujar O'Criodain.
Negara-negara penerima rapor merah membawa konsekuensi langsung bagi ketiga satwa. Vietnam menjadi negara paling tidak acuh ihwal perlindungan satwa liar. Dalam satu dekade terakhir, misalnya, badak Jawa Indocina telah musnah dari Vietnam. "Perburuan memainkan peran penting," demikian menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), melengkapi keterangan WWF.
Tingginya permintaan cula menjadi faktor pendorong laju kepunahan satwa pemakan tumbuhan ini. Di Vietnam, permintaan cula badak meningkat drastis berkat rumor yang menyebutkan khasiat cula untuk penyembuhan penyakit-penyakit tertentu, seperti kanker.
Menurut laporan WWF, Vietnam menjadi negara tujuan utama perdagangan cula badak dari Afrika Selatan. Pemerintah Vietnam terbukti lemah menerapkan sanksi kepada pihak yang berpartisipasi dalam perdagangan ilegal. Langkah-langkah hukum di negara itu juga dinilai tidak tegas untuk mengurangi perdagangan ilegal satwa lewat Internet.
"Belum pernah ada penyitaan hasil perdagangan satwa liar di Vietnam sejak 2008," begitu pernyataan yang dikeluarkan WWF, seperti dikutip Livescience, Selasa 24 Juli 2012.
Hanya dua negara yang tercatat menerima rapor hijau untuk ketiga spesies, yakni India dan Nepal. Kedua negara menunjukkan kemajuan signifikan dalam perlindungan gajah, harimau, dan badak. India dan Nepal terbukti mematuhi perjanjian perlindungan satwa liar dan menegakkan kebijakan untuk mencegah perdagangan ilegal.
Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES) menyatakan seluruh perdagangan cula badak, gading gajah, bagian tubuh harimau, dan spesies lain yang terancam punah, adalah ilegal. CITES ditandatangani 175 negara, termasuk Indonesia.
O Criodain mengatakan banyak negara yang memiliki hukum perlindungan satwa yang komplet tapi gagal menerapkannya di lapangan. Cina adalah contoh negara yang memiliki hukum ketat untuk mengendalikan penjualan gading gajah. "Namun Cina tidak memiliki catatan yang kuat dalam penegakannya," ujar dia.
Laporan yang dikeluarkan WWF, kata O'Criodain, merupakan gambaran tentang negara-negara yang menghadapi tingkat perdagangan ilegal tertinggi di tiga spesies. Sedangkan negara-negara asal satwa yang diperdagangkan, seperti Afrika tengah yang telah kehilangan semua badaknya, lolos evaluasi.
Evaluasi ini didasarkan pada pengumuman pemerintah yang dilaporkan dalam media massa, dokumentasi CITES, dan informasi yang dikumpulkan oleh TRAFFIC--jaringan pemantau perdagangan satwa liar--yang merupakan program bersama WWF dan IUCN.
LIVESCIENCE | MAHARDIKA SATRIA HADI