TEMPO.CO, Medan - Tidak jadinya dimasukkan tarian tortor dan alat musik Gordang Sambilan, kebudayaan dari etnik Mandailing di Provinsi Sumatera Utara, ke dalam Akta Warisan Kebangsaan 2005 Malaysia, harus lekas disikapi. Wilayah eks Karesidenan Tapanuli Selatan, kini terdiri dari lima kabupaten dan kota, didesak untuk segera bertindak.
Bupati Mandailing Natal, Hidayat Batubara, mengemukakan pendaftaran kebudayaan milik suku Mandailing itu, yang pada Juni lalu menjadi polemik antara Indonesia dan Malaysia, harus segera dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padangan Lawas, Padang Lawas Utara, dan Pemerintah Kota Sidimpuan.
“Sudah seharunya lima kabupaten dan kota di eks Karesidenan Tapanuli Selatan mendaftarkan tortor dan Gordang Sambilan ke Unesco. Begitu juga dengan kebudayaan lainnya,” kata Hidayat kepada Tempo, Kamis, 26 Juli 2012.
Alasannya, kata Hidayat, upaya yang dilakukan keturunan suku Mandailing di Malaysia tersebut telah gagal. Keturunan Mandailing di Malaysia, yang tergabung dalam Persatuan Halak Mandailing-Malaysia (PAHAM), mengajukan tarian tortor dan alat musik Gordang Sambilan untuk masuk dalam Akta Warisan Kebangsaan 2005, Malaysia.
Hidayat mengaku, saat polemik tersebut muncul, ia langsung menyurati Ramli bin Abdul Karim Hasibuan selaku Presiden PAHAM guna meminta klarifikasi. “Sekitar sepuluh hari lalu, mereka bertemu saya di Madinah. Mereka katakan ada kesalahan persepsi, bahwa kata 'warisan' itu bukanlah berarti milik Malaysia,” kata Hidayat.
Dengan gagalnya dimasukkan tortor dan Gordang Sambilan ke dalam Warisan Budaya Malaysia, menurut Hidayat, pemerintah jangan lagi bersikap sepele. “Jangan ribut saat ada orang yang mau klaim, tapi sepele dan dilupakan saat tidak ada masalah,” kata Hidayat.
Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara Shafwan Hadi Umri menekankan perlunya perlindungan hukum dan inventarisasi seni dan kebudayaan milik tujuh etnik asli di Provinsi Sumatera Utara. Ketujuh etnik asli itu, suku Simalungun, Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Melayu, dan Nias. “Kami pernah menawarkannya kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, tapi ditolak,” kata Shafwan.
Dewan Kesenian Sumatera Utara tidak mampu melakukan inventarisasi itu karena ketiadaan anggaran. “Sejak 2009, Dewan Kesenian Sumatera Utara tidak lagi diberikan anggaran oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara,” kata Shafwan.
SOETANA MONANG HASIBUAN