TEMPO.CO, Yangoon--Pejuang demokrasi Myanmar sekaligus peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, menuai kritik dari sejumlah organisasi penggiat hak asasi manusia. Mereka mengkritik Suu Kyi karena memilih diam menghadapi kebijakan Presiden Thein Sein dalam menyelesaikan kasus etnis Rohingya.
Thein Sein mengatakan 800 ribu penduduk Rohingya harus ditempatkan di sejumlah kamp dan dikirim ke Bangladesh melalui perbatasan. Thein Sein menolak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar karena menganggap mereka sebagai imigran dari Bangladesh. Kebijakan ini dinilai oleh para penggiat HAM sebagai pembersihan etnis.
"Ini mengecewakan. Dia dalam posisi sulit, tapi rakyat dikecewakan karena dia tidak bersuara lebih keras,” kata Anna Roberts, Direktur Eksekutif Burma Campaign, di Inggris.
"Dia melewatkan kesempatan untuk mengatakan sesuatu yang bagus tentang ini,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch untuk Asia.
Menurut Adams, Suu Kyi seharusnya memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara soal Rohingya saat berkunjung ke London, Dublin, Paris, dan Oslo. “Dia tidak menentangnya."
Akademisi Myanmar, Maung Zarni, mengatakan Suu Kyi tidak berusaha menyelesaikan masalah Rohingya.
Pada awal pekan ini, untuk pertama kalinya Suu Kyi di parlemen berbicara soal perlunya undang-undang untuk melindungi etnis minoritas tanpa menyebut soal etnis Rohingya.
Rohingya merupakan salah satu etnis di dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, warga etnis Rohingya mengalami tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terburuk di dunia.
TELEGRAPH | MARIA RITA