Rindu Tradisi di Kampung Betawi

setu babakan
setu babakan

TEMPO.CO , Jakarta: Ramadan tak lagi pernah sama di Kampung Cagar Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Setidaknya bagi Manan.

Sesepuh yang biasa disapa Abah itu hanya bisa mengenang sederet panjang tradisi yang kini sudah ditinggalkan di kampungnya itu. “Pernah sangat beragam, tapi sekarang (Ramadan) sama saja dengan di kampung lain,” katanya ketika ditemui di rumahnya.

Dulu, dia mulai mengisahkan, sehari sebelum memasuki bulan puasa, masyarakat Setu Babakan punya tradisi keramas menggunakan merang bakar dan air kembang. Kini, sampo di pasar mengambil alih tradisi tersebut.
Dulu juga ada Andil atau tradisi patungan kerbau jelang Lebaran. Yang ini juga sudah punah.

Tradisi Andil adalah kebiasaan memotong kerbau yang dibeli secara patungan. Abah memberi ilustrasi, jika harga kerbau Rp 10 juta, berarti sekitar 20 orang akan patungan Rp 500 ribu tiap orang. “Semacam arisan kerbau,” tuturnya.
Tradisi ini dimulai ketika Lebaran sudah lewat dua minggu, sekitar 15 Syawal. Uang yang diperoleh dari arisan akan disimpan sendiri oleh pemiliknya, hingga tiga bulan menjelang Ramadan tahun berikutnya.

Ketika tiba waktunya, yakni satu atau dua hari menjelang Lebaran, seluruh daging dan tulang hewan yang sudah disembelih itu dibagi rata kepada warga yang patungan. Pembagian tersebut sebelumnya menyisihkan bagian untuk dua atau tiga marbot atau mereka yang mengurusi kerbau sebelum dan setelah penyembelihan.

Penyembelihan itu sendiri dilakukan serempak di antara kelompok-kelompok arisan kerbau. “Dulu, zaman saya kecil, makan daging ya cuma pas Lebaran,” kata Abah.

Indra Sutisna, pengelola kampung, mengaku berat untuk mempertahankan tradisi Andil. “Selain daging sudah gampang ditemui, tempat merawat kerbaunya sudah tidak ada,” ujarnya.

Beberapa tradisi yang juga dianggap sulit dipertahankan adalah “malaman” atau mengajak seisi kampung berkumpul di musala untuk membaca Al-Quran hingga pagi. Menurut Indra, sekarang sudah sulit mengumpulkan orang sepanjang malam bulan puasa.

Begitu juga dengan tahlilan keliling dari rumah ke rumah menjelang Lebaran. “Ini juga sudah tidak ada,” Abah mengungkapkan.

Bukan cuma tradisi-tradisi itu, kue abuk yang pernah khas di masa Ramadan juga sudah tak pernah ada yang bikin. Kue tradisional yang terbuat dari tumbukan beras ketan hitam dicampur kelapa dan air ini biasanya disantap pada hari ganjil di akhir puasa, mulai tanggal 17 hingga 29 Syawal.

Nasib abuk lebih parah ketimbang dodol Betawi karena diduga sudah punah sama sekali. Adapun dodol masih dianggap rawan karena warga Betawi, menurut Abah, belakangan lebih senang beli ketimbang membikinnya sendiri.
Sebagai pengelola kampung, Indra berjanji akan mencegah lebih banyak tradisi punah dari Kampung Betawi. Khusus kuliner yang khas, akan coba dibangkitkan kembali. “Kami akan adaptasikan. Apa yang hilang, akan dimunculkan lagi. Yang hampir hilang, akan terus kami promosikan,” ujarnya.

DIAN KURNIATI