TEMPO.CO, Jakarta - Polemik rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda mencuat di kalangan cendekiawan. Proyek monumental jembatan sepanjang 29 kilometer itu menuai pro dan kontra.
Guru besar Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Herman Wahyudi, menolak rencana pembangunan jembatan terpanjang di kolong langit itu. "Risikonya tinggi dan butuh biaya mahal," katanya seperti dikutip dalam Majalah Tempo edisi 30 Juli 2012.
Sebelumnya penolakan juga telah disampaikan mantan Rektor ITS, Priyo Suprobo, dalam diskusi bersama sejumlah menteri. Menurut Herman, jembatan lebih berorientasi daratan ketimbang maritim. "Padahal, Indonesia negara kepulauan."
Menurut Herman, lebih baik mengembangkan pelabuhan di Merak dan Bakaheuni ketimbang membangun Jembatan Selat Sunda. Membangun jembatan butuh dana Rp 100 triliun, sedangkan pelabuhan cukup Rp 10 triliun.
Namun, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tak sependapat. Pakar transportasi di BPPT, Joko Priyo Utomo, memandang jembatan lebih melancarkan transportasi. “Service rate-nya paling kecil ketimbang model lain,” ujarnya.
Baca Juga:
Dwi Agus Purnomo, rekan Joko yang ikut dalam studi jembatan pada 1987-1992, menilai jembatan lebih menguntungkan ketimbang pelabuhan atau terowongan.
Dari sisi ekonomi, menurut Dwi, pelabuhan hanya mampu bertahan 30 tahun. Adapun terowongan bawah laut rawan keamanan. Teknologi jembatan pun lebih dikuasai ahli dalam negeri. “Dan lebih monumental,” ujarnya. Namun, BPPT juga menyadari proyek jembatan rumit dan menelan biaya spektakuler.
RINA W | AKBAR TRI K.| AGUS S. | FATKHURROHMAN T
Berita terkait:
Ditanya JSS, Presiden SBY Celingukan
Tim 7 Bungkam Soal Rapat Jembatan Selat Sunda
DPR Menentang Pembangunan Jembatan Selat Sunda
Ditanya Jembatan Selat Sunda, Menkeu Bungkam
Pemrakarsa Khawatir Studi Kelayakan Selat Sunda Molor
Pemerintah Kukuh Jembatan Selat Sunda Dibuat 2014