TEMPO.CO, Jakarta - Satu hakim anggota Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Sofialdi, memiliki beda pendapat atau dissenting opinion dengan empat hakim lainnya dalam putusan sela untuk terdakwa kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004, Miranda Swaray Goeltom. Sofialdi menilai dakwaan jaksa untuk Miranda seharusnya gugur.
Sofialdi berbeda pendapat ihwal penggunaan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan ketiga dan keempat Miranda. Pasal 13, menurut pengacara Miranda dalam eksepsi atau nota keberatan, sudah kedaluarsa pada 2010 atau enam tahun setelah dugaan suap terjadi.
"Hak menuntut hukuman gugur karena sudah lewat waktunya. Oleh karena Pasal 13 UU Tipikor yang mengatur hukuman maksimal tiga tahun, mengatur perbuatan yang terjadi pada Juni 2004, sehingga pasal itu daluarsa pada Juni 2010," kata Sofialdi saat membacakan penjelasan dissenting opinionnya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, 31 Juli 2012.
Sofialdi mengaku sependapat dengan keberatan tim penasihat hukum pimpinan Dodi S. Abdulkadir yang menilai perbuatan yang didakwakan menggunakan Pasal 13 UU Tipikor telah lewat waktu. Hal itu berdasar ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinilai Sofialdi harus digunakan sebagai pertimbangan karena UU Tipikor tidak mengatur pasal kedaluarsa.
Dengan demikian, menurut Sofialdi, keberatan a quo penasihat hukum harus dinyatakan dapat diterima. "Maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan, menyerahkan berkas perkara kembali ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk disusun kembali," ujarnya.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak seluruh eksepsi Miranda. "Menyatakan eksepsi terdakwa tidak dapat diterima, menyatakan sah surat dakwaan penuntut umum sebagai dasar memeriksa perkara ini, dan memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal, membacakan amar putusan sela.
Hakim menilai nota keberatan yang menyebut Miranda tidak tahu rencana pemberian cek pelawat, tidak bisa dijadikan dasar membatalkan dakwaan. Alasannya, hal itu masuk lingkup perkara yang masih dibuktikan dalam persidangan. Ihwal tuduhan dakwaan hanya berdasar asumsi, dinilai hakim bukan, termasuk materi keberatan.
Keberatan kubu Miranda yang menilai Pasal 13 UU Tipikor sudah kedaluwarsa pada Juni 2010, menurut hakim, tidak dapat diterima. Pendapat hakim didasari ketentuan Pasal 78 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan perhitungan kedaluwarsa dihapus.
Pengacara Miranda, Andi F. Simangunsong, menyatakan akan mengajukan banding atas putusan sela. Ia semula memohon agar pemeriksaan perkara ditangguhkan hingga ada putusan hakim banding. Alasannya, ada dissenting opinion yang memungkinkan hakim Pengadilan Tinggi DKI mengabulkan banding pihaknya. Namun permohonan penangguhan sidang ditolak Gusrizal.
Oleh jaksa KPK, Miranda dijerat dakwaan alternatif berlapis. Ia disebut bersama-sama dengan Nunun, memberi cek pelawat Bank Internasional Indonesia ke sejumlah anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 setelah proses uji kepatutan dan kelayakan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 digelar. Cek diberikan Nunun melalui kawannya, bos PT Wahana Esa Sejati, Arie Malangjudo.
Jaksa tidak mengungkap dalam dakwaan, siapa pihak sponsor cek pelawat pemenangan Miranda. Dalam persidangan terdakwa lainnya sebelum ini, terungkap cek pelawat diterbitkan BII atas permintaan Bank Artha Graha. Bank milik pengusaha Tomi Winata itu meminta cek pelawat ke BII setelah ada permohonan dari PT First Mujur Plantation and Industry. Hingga saat ini, belum terungkap bagaimana cek PT First Mujur ini bisa ada di tangan anggota Dewan.
ISMA SAVITRI