TEMPO.CO , Yogyakarta - Sekelompok mahasiswa jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta meneliti dan mengembangkan sintesis antimalaria baru dengan menggunakan minyak daun cengkeh.
Para mahasiswa yang terdiri dari Dhina Fitriastuti, Imelda Octa Tampubolon dan Putri Ernia Wati itu menciptakan antimalaria baru karena melihat berbagai usaha penanggulangan penyakit malaria yang selama ini dilakukan masih belum optimal.
Beberapa faktor yang menjadi kendala dalam usaha tersebut antara lain timbulnya vektor malaria (nyamuk Anopheles) yang resisten terhadap insektisida dan parasit (Plasmodium) yang resisten terhadap antimalaria komersial yang tersedia.
“Plasmodium, khususnya Falciparum, di beberapa negara termasuk Indonesia dilaporkan sudah mengalami resistensi terhadap klorokuin yang menjadi antimalaria komersial saat ini,” kata Dhina Selasa, 31 Juli 2012.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong kelompok yang telah menyabet juara satu kategori poster pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) di Yogya tahun 2012 tersebut melakukan penelitian lanjutan demi menemukan antimalaria baru.
Menurut Dhina, salah satu senyawa antimalaria baru yang dapat disintesis adalah (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1,10-fenantrolinium bromida dan dapat dihasilkan dari minyak daun cengkeh.
Selama ini, minyak cengkeh digunakan sebagai bahan anestesi gigi. Minyak cengkeh di Indonesia merupakan produk alami yang tidak mahal dan dapat diperoleh dengan mudah di kawasan Asia Tenggara dengan komponen yang paling dominan eugenol.
“Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa eugenol ini dapat diubah menjadi senyawa 3,4-dimetoksi benzaldehida (veratraldehida) melalui proses isomerisasi, oksidasi dan metilasi,” kata dia.
Dhina menambahkan, penelitian yang mereka lakukan telah melalui tahap sintesis di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, FMIPA UGM dan tahap uji aktivitas antimalaria di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran UGM.
“Tahap sintesis dilakukan dengan mengubah veratraldehida menjadi veratril alkohol dengan cara digerus dalam mortar dan pestle menggunakan reduktor NaBH4,” kata dia.
Di sisi lain untuk melihat kemampuan senyawa sebagai antimalaria, imbuh Dhina, diperlihatkan dari nilai IC50, yang berarti konsentrasi yang dibutuhkan senyawa untuk menghambat 50 persen pertumbuhan sel. “Jadi semakin kecil konsentrasi yang dibutuhkan, maka akan semakin baik aktivitas senyawa tersebut sebagai antimalaria,” kata dia.
Berdasarkan hasil tersebut, senyawa (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1, 10-fenantrolinium bromida memiliki nilai IC50 yang lebih kecil dari klorokuin. Ini artinya senyawa hasil sintesis memiliki aktivitas antimalaria yang lebih baik daripada klorokuin.
Sementara rekan Dhina, Putri menuturkan penelitian yang mereka lakukan menjadi awal pembuatan obat malaria. Senyawa aktif hasil sintesis ini masih perlu diuji klinik lebih lanjut, yaitu meliputi uji in vivo, uji mekanisme aksi dan toksisitas.
Untuk melakukannya, diperlukan adanya kerjasama interdisipliner ilmu yaitu dengan pihak kedokteran (dalam uji lanjutan) dan pihak farmasi (dalam pembentukan sediaan obat) Malaria sendiri tergolong penyakit menular yang masih menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan dan menyebabkan 544.470 kasus malaria dengan 900 kematian.
Data dari WHO tahun 2010 menunjukkan terdapat 81 juta kasus positif malaria dengan 117.704 kematian tiap tahunnya. Di DIY peristiwa menjangkitnya penyakit malaria juga terjadi di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Pada awal Januari tahun 2012, sebanyak 68 kasus malaria terjadi di daerah tersebut.
PRIBADI WICAKSONO
Berita terpopuler lainnya:
Diterpa Isu SARA, Jokowi-Ahok Tetap Populer
Jenderal Polisi Bintang Dua jadi Tersangka?
Calon Wali Kota Terbaik Dunia, Jokowi Banjir Dukungan
10 Fantasi Seksual Perempuan
Gubernur Akpol Jadi Tersangka, Kapolri-KPK Rapat Khusus
Simsalabim Simulator SIM III
Simsalabim Simulator SIM I