TEMPO.CO, Jakarta - Kesaksian bekas Direktur Keuangan PT Merpati Nusantara Airlines, Guntur Aradea, memberatkan mantan direktur utama perusahaan tersebut yang berstatus tersangka kasus korupsi pengadaan dua pesawat Boeing, Hotasi Nababan. Guntur bersaksi dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Pangeran Napitupulu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2012.
Menurut Guntur, Hotasi sudah mulai memproses penyewaan pesawat pada awal 2006. Sementara rencana kerja anggaran perusahaan baru diteken Oktober 2006. "Proses mencari pesawat sebelum RKAP. Tapi, dalam RKAP, tidak spesifik menyebutkan pembelian dua Boeing. Saya tidak tahu kenapa proses pencarian pesawat mendahului RKAP," ujarnya, menjawab pertanyaan jaksa Ariawan.
Dalam RKAP itu, Guntur menjelaskan, ada arahan pemegang saham kepada para direksi agar melakukan upaya maksimal menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Sebab, saat itu Merpati tercatat merugi Rp 211 miliar. Rapat akhirnya memutuskan untuk menambah armada demi mencegah eksodus pilot ke perusahaan lain. Namun saat itu belum dibahas jenis pesawat yang akan dibeli.
Proses pengadaan dua unit pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dilakukan Hotasi bersama Tony Sudjiarto, bekas General Manager Aircraft Procurement Division Merpati. Dua unit Boeing keluaran tahun 1991 dibanderol dengan harga sewa US$ 150 ribu per pesawat. Meski belum disepakati dalam rapat, saat itu Tony tetap membuat kesepakatan dengan Thirdstne Aircraft Leasing Group (TALG) dengan mekanisme back to back. Mekanisme itu mengizinkan Merpati menyewa lebih dulu kedua unit pesawat, sebelum melakukan pembelian.
Guntur mengakui dirinya sempat menerima nota dinas dari tim, yang berisi pengajuan pencairan dana sebesar US$ 1 juta. Namun ia tak menanyakan lebih lanjut status dua unit Boeing yang akan dibeli, termasuk apakah pesawat produksi East Dover Ltd itu sudah dilunasi pembayarannya oleh TALG.
Alasannya, kata Guntur, surat pernyataan yang ditandatangani bersama oleh lima direksi, atau disebut circular letter, sudah menyepakati pembelian pesawat dari TALG. Circular letter itu ditandatangani sebelum ada nota dinas. "Saya tidak ingat catatan dia (Hotasi) di circular letter. Tapi, di nota dinas, dia bilang setuju pembelian itu."
Ihwal transfer duit US$ 1 juta dari rekening pengacara TALG, Hume & Associates PC, ke Bristol Aircraft tidak dilaporkan Hotasi ke Guntur selaku direktur keuangan. Padahal transfer itu menunjukkan TALG sebenarnya belum melunasi pembayaran dua Boeing ke East Dover. "Yang diinformasikan ke saya hanya penempatan ke rekening Hume. Padahal seharusnya saya mendapat informasi lengkap," kata Guntur.
Pengacara Hotasi, Juniver Girsang, menanyai Guntur apakah rencana penambahan armada sudah dibahas dalam rapat-rapat direksi pada awal 2006. Menurut Guntur, sejak awal 2006, memang direksi sudah membahas rencana tersebut. Merpati bahkan sudah memasang iklan di situs resmi mereka yang menyatakan perusahaan membutuhkan tambahan armada. Namun memang, ihwal pembelian dua Boeing tidak pernah dibahas khusus.
Hotasi didakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dalam kasus penyewaan dua unit pesawat Boeing. Ia dinilai salah karena sudah mulai memproses penyewaan pesawat pada Mei 2006, sedangkan RKAP baru diteken Oktober 2006. Namun proses penyewaan dua unit Boeing itu tidak dilaporkan Hotasi dalam forum rapat. Hal itu dinilai jaksa melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Salah satu pesawat yang akan disewa Merpati, Boeing 737-500, ternyata milik East Dover Ltd karena belum ada kesepakatan antara TALG dan East Dover. Begitu pun security deposit yang akan dibayar Merpati ternyata akan digunakan TALG untuk membayar uang muka ke East Dover. Hal itu disebut jaksa diketahui Hotasi, namun diabaikan. Bahkan kemudian salah satu pesawat tidak jadi datang.
Saat memberikan tanggapan, Hotasi keberatan jika disebut berposisi sebagai pengambil keputusan tertinggi di perusahaan. Menurut dia, keputusan tertinggi perusahaan adalah circular letter yang ditandatangani minimal lima direksi.
ISMA SAVITRI