TEMPO.CO, Yogyakarta - Puluhan pilar kayu langsung menyita perhatian pengunjung ketika memasuki ruang galeri Langgeng Art Foundation (LAF) Yogyakarta. Dari jauh, kumpulan pilar persegi yang tak beraturan itu mengingatkan pemandangan tragis hutan tropis yang gundul akibat pembalakan liar.
Namun, amatilah dari dekat. Permukaan pilar yang tampak tua itu berhiaskan beragam bentuk ukiran, mulai dari bentuk ukir kembangan, oval, hingga ukiran penuh warna. Hutan pilar itu merupakan karya instalasi perupa asal Iran, Leila Pazooki, berjudul "Forest of Memories", yang dipamerkan dalam pameran bertajuk "Magical Thoughts" di galeri LAF Yogyakarta, 13 Juli hingga 31 Augustus 2012.
Pameran itu dilakukan sebagai presentasi atas proyek residensinya selama empat bulan di LAF dari April hingga Juli 2012 lalu. Leila, 35 tahun, mengumpulkan tiang kayu dari berbagai jenis rumah tradisional Jawa di Yogyakarta yang dia peroleh dari teman, tetangga, dan toko kayu di Yogyakarta. "Bentuk ukiran itu proses komunikasi yang serius, seperti menggambarkan memori tentang yang tak tampak, tapi dipercaya ada dan itu menarik," kata Leila.
Menurut dia, imajinasi, khususnya di Jawa, yang tertuang beragam dalam berbagai pilar itu seperti pergolakan tafsir spiritual yang tak kunjung selesai. Dia menggambarkannya dengan menyusun pilar itu secara tak beraturan, saling berhadapan, membelakangi.
Leila mengakui sangat terkesan dengan proses sinkretisme dan animisme selama berada di Yogyakarta. Semua yang dia temui dan dia teliti sering bertabrakan dengan segala pandangannya yang dipengaruhi kebudayaan asalnya di Iran, juga rasionalitas Barat (Berlin), tempat dia bermukim saat ini.
Tengok saja karya tiga dimensi "Globe and Its Shadow" berupa struktur kaku bola dunia yang dibentuk dari susunan kayu persegi dan membentuk jaringan heksagonal. Pada karya itu, Leila menambahkan lukisan berupa bayangan struktur itu. Karya ini menggambarkan spiritualitas manusia yang selalu berdampingan dengan realitas kekinian yang beragam sesuai dengan kultur lingkungannya.
Leila menuturkan, selama di Yogyakarta, dia terus dibuat bertanya tentang ruang ambang spiritual dari berbagai perilaku dan simbol antara kehidupan urban dan tradisi yang masih beriringan. Hal itu terus bergerak bak medan magnet yang membawanya selalu merasa berada di tengah keramaian lampu kota kehidupan urban Hong Kong sekaligus di pelosok negeri yang masih lengang, seperti lereng Gunung Merapi yang dia kunjungi.
"Ruang ambang itu bukanlah irasionalitas atau situasi abnormal bagi peradaban modern, tapi transformasi pertukaran energi dan spiritualitas," kata Leila, yang menyelesaikan kuliah di Berlin University of Arts dan Sculpture School of Art and Design Berlin Weissensee.
Ketidakpastian ruang ambang antara tradisi-modernitas yang terus bergerak itulah yang dilihatnya justru terus memberi energi untuk hidup di tengah masyarakat. Dia menggambarkannya lewat karya instalasi berjudul "Vulcanis Stones and the Neon Tube" berupa bebatuan vulkanik sisa erupsi Merapi. Di antara bongkahan batu ini diselipkan berbagai neon warna-warni yang tak beraturan bak suasana pesta di antara obyek itu.
Pada "The Stones and The Glass Balls", dia menggambarkan ketegangan dan keseimbangan lewat balon kaca berwarna hijau yang ringkih terjepit bongkahan batu gunung yang masif. Dengan pantulan neon warna-warni, balon kaca itu lepas dari kesan rentannya saat didekatkan dengan batu, tapi justru lebih kuat dan tersangga.
Pendamping pameran itu, Alia Swastika, mengatakan, Leila memakai pandangan lebih rasional menyangkut hubungan makhluk hidup dengan semesta yang memiliki energi di baliknya. Energi itu dapat didistribusikan ke dalam hal lain, termasuk obyek. "Dalam praktek kehidupan sehari-hari, pertukaran energi semacam itu memberi roh kehidupan bagi benda-benda, semata-mata dilihat sebagai soal yang melibatkan hantu. Ini menunjukkan kuatnya akar animisme dan jarak nyata terhadap pranata modern," tulis Alia Swastika.
PRIBADI WICAKSONO