TEMPO.CO , Jakarta - Kegiatan riset ilmiah di Indonesia masih dianggap sebagai alat pembenar keputusan politik yang diambil penguasa. Hal ini terbukti dari banyaknya gugatan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sebagian besar tidak memiliki basis riset yang kuat. "Ini mirip dengan yang terjadi di era Orde Baru, yakni ketika kebijakan politik tak tak bisa dikritisi," kata Yogi Vidyattama, peneliti senior dari Universitas Canberra, Australia, dalam diskusi Forum Indonesia yang digelar di kampus tersebut, Selasa 31 Juli 2012.
Menurut Yogi, meskipun rezim berganti, tidak otomatis ada reformasi dalam pengambilan kebijakan publik. Saat ini, pertimbangan politik menjadi dasar untuk pengambilan keputusan yang berdampak besar kepada publik. Padahal, hasil riset dapat digunakan sebagai pembentuk opini publik untuk menghasilkan kebijakan baru yang bermanfaat.
Yogi memberikan contoh di banyak negara, kebijakan mengenai perubahan iklim pada awalnya tak didukung oleh banyak pemerintah karena tak popular dan menghambat laju ekonomi negara. Namun ketika opini masyarakat terbentuk melalui publikasi hasil riset independen di media, banyak negara yang kemudian mengeluarkan kebijakan mengenai pengaturan emisi karbon.
Menurut Adi Budiarso, mahasiswa doktoral University of Canberra yang sedang melakukan penelitian tentang pengambilan kebijakan, kebijakan publik yang berbasis riset akan lebih baik dalam membantu memecahkan masalah karena dilakukan berdasarkan fakta dan lebih bersifat strategis. “Kebijakan publik yang berbasis dari hasil riset para peneliti akan lebih memuaskan banyak pihak sehingga sebuah kebijakan itu tidak gampang untuk diganggu gugat karena melalui sebuah proses metode ilmiah,” ujarnya.
Diskusi Forum Indonesia merupakan kegiatan bulanan yang berlangsung di Canberra dan dipelopori sejumlah mahasiswa Tanah Air yang sedang menempuh pendidikan lanjutan di kota itu. Adapun tema yang dibahas merupakan topik-topik hangat yang sedang dibicarakan di Indonesia. “Kami berusaha memberi solusi untuk Indonesia yang lebih baik,” kata Ketua Forum Indonesia, Ratih Maria Dhewi, mahasiswa program Phd University of Canberra yang meneliti seluk beluk sumber daya manusia Indonesia dalam rilis yang diterima Tempo.
ADEK MEDIA