Mustahilnya Berpuasa bagi Warga Muslim Uighur

Mustahilnya Berpuasa bagi Warga Muslim Uighur
Mustahilnya Berpuasa bagi Warga Muslim Uighur

TEMPO.CO, Beijing - Larangan itu kembali terulang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, warga muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, barat laut Cina, dipersulit untuk berpuasa pada bulan suci Ramadan. Larangan berpuasa bagi pegawai pemerintah dan siswa sekolah itu diungkapkan Pemerintah Kota Zonglang di Distrik Kashgar pada awal Agustus ini.

“Kader Partai Komunis, pegawai pemerintah (termasuk pensiunan), dan siswa sekolah dilarang melakukan ibadah Ramadan,” demikian pernyataan tersebut, seperti dilansir kantor berita Xinhua, Rabu lalu. Kebijakan ini, menurut pemerintah, sebagai upaya menegakkan stabilitas di kawasan rawan konflik sektarian tersebut.

Pemerintah bahkan mengutus petinggi partai di kawasan itu untuk memberikan hadiah makanan kepada pemimpin desa. Langkah ini untuk memastikan para kepala desa tidak berpuasa pada bulan Ramadan.

Pemerintah daerah lain di Xinjiang juga mendesak pihak sekolah untuk melarang siswa mengunjungi masjid kala Ramadan. Kisah tragis soal puasa di Xinjiang memang dihadapi siswa di semua tingkatan. Tahun lalu, para dosen di sebuah kampus ilmu pendidikan di Kota Kashgar memaksa mahasiswanya makan siang saat Ramadan.

Saat Idul Fitri tiba, seluruh kafe dan restoran di kampus justru ditutup. Yang sangat menyedihkan, para mahasiswa dikunci di dalam kampus dan tak bisa merayakan akhir Ramadan bersama keluarga masing-masing. “Ini sangat menyakitkan kami,” tutur seorang mahasiswa berusia 20 tahun.

Kebijakan tak masuk akal lainnya dibebankan kepada para pemilik restoran. Untuk memaksa warga Uighur santap siang pada hari Ramadan, Partai Komunis di kawasan Xinjiang memaksa semua restoran tetap buka. Jika ketahuan tutup, pemilik restoran akan didenda hingga US$ 780 atau setara Rp 7,4 juta.

Akibatnya, seluruh restoran terpaksa tetap buka pada hari Ramadan meski tak ada pelanggan yang datang. “Mereka tak ingin mendapat masalah,” ucap seorang dokter muda yang menolak disebut namanya. Sebuah kompromi pun dilakukan di salah satu restoran. “Kokinya memasak satu menu meski ia tak mencicipi saat membuatnya,” ujar sang dokter.

Kebijakan saat Ramadan di Xinjiang terasa semakin menyesakkan setiap tahun. ”Ini sudah berlangsung sejak 1993, dan terus memburuk,” tutur Tursun Ghupur, penduduk Kashgar yang kini menetap di Beijing. “Warga biasa memang masih bisa menikmati ibadah puasa saat Ramadan, tapi bagi pegawai negeri dan siswa, ini adalah neraka.”

Kebijakan ini tentu menimbulkan perlawanan dari masyarakat muslim Uighur. “Larangan ini hanya menambah bahan bakar penduduk Uighur untuk menentang pemerintah Cina lebih keras lagi,” ujar Dilshat Rexit, juru bicara Kongres Dunia Uighur.

Kawasan Xinjiang merupakan rumah bagi sembilan juta etnis muslim Uighur. Namun populasi penduduk muslim di Xinjiang semakin terdesak oleh kedatangan suku Han, etnis mayoritas Cina. Kondisi rawan konflik ini semakin diperparah oleh kebijakan pemerintahan Cina yang membatasi kebebasan beragama warga muslim Uighur.

Konflik berdarah pun pecah pada Juli 2009. Warga Uighur dilaporkan menyerang warga Han di Kota Urumqi. Warga Han yang tak terima pun membalas. Akibat insiden ini, 200 warga tewas dan 1.700 lainnya terluka, sebagian besar korban berasal dari etnis Uighur.

Para analis menilai kebijakan ini diambil karena Xinjiang merupakan aset yang sangat berharga. Posisinya yang strategis di Asia Tengah berpadu dengan kekayaan alam berupa minyak dan gas yang berlimpah. Walhasil, Cina yang dikuasai penduduk Han berupaya merebut kawasan ini. Jika pada 1940 jumlah penduduk Han hanya 5 persen, kini jumlah mereka mencapai 40 persen.

REUTERS | XINHUA | AL JAZEERA | LOS ANGELES TIMES | SITA PLANASARI AQUADINI

Berita lain:
Sibuknya Operator Jelang Lebaran

Banjir Pesan Pendek, BBM, dan Jejaring Sosial

Operator Seluler Siap Sambut Lebaran