TEMPO.CO, Jakarta - Terdepresiasinya dolar terhadap mata uang utama dunia, akhir pekan lalu, akibat peningkatan data tenaga kerja Amerika Serikat di bulan Juli kemarin yang melebihi ekspektasi para analis bisa dijadikan momentum bagi rupiah untuk melanjutkan penguatannya agar menjauh dari level 9.500 per dolar AS.
Namun, pelemahan dolar AS ini bersifat hanya sesaat karena masalah krisis utang di Eropa masih terus bergulir dan penuh ketidakpastian. Dalam kondisi seperti ini dolar AS masih akan tetap menjadi safe haven bagi para pelaku pasar.
Pengamat pasar uang, Farial Anwar, mengatakan data ekonomi domestik ataupun global saat ini tidak banyak berpengaruh terhadap rupiah. Silih bergantinya berita positif dan negatif dari faktor eksternal juga tidak membuat rupiah bergerak liar. “Indeks harga saham sempat naik dan turun cukup tajam, tapi rupiah masih anteng di kisaran seperti saat ini,” tuturnya.
Dari faktor domestik, hari ini Badan Pusat Statistik dijadwalkan merilis data produk domestik bruto (PDB). Farial memperkirakan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di atas enam persen karena dukungan konsumsi domestik yang masih kuat. Meski dari sisi ekspor akan terkena dampak dari krisis Eropa, permintaan konsumsi domestik tetap terjaga.
Untuk sementara rupiah masih akan ditransaksikan di kisaran 9.450 hingga 9.500 per dolar AS. Mendekati level 9.500, rupiah pasti akan dijaga oleh Bank Indonesia, tapi untuk menguat lebih jauh juga sulit.
Masih banyaknya ketidakpastian di kawasan Eropa dan kekhawatiran pelambatan ekonomi global membuat para pelaku pasar merasa lebih nyaman memegang dolar AS yang dianggap mata uang safe haven. Obligasi pemerintah Amerika masih menjadi instrumen yang diminati investor global.
Pada akhir pekan lalu rupiah ditutup stagnan sama dengan penutupan sehari sebelumnya di level 9.476 per dolar AS.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR