TEMPO.CO, Yogyakarta-- Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga Raja Keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyatakan kewenangan tambahan yang diusulkan masuk Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta bersifat terbatas. Wewenang itu, kata dia, untuk kepentingan menyesuaikan paugeran dengan syarat administratif jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Menurut Sultan, terjaminnya kewenangan penyesuaian tata aturan suksesi di keraton bisa menghindari, misalnya, adanya peninjauan kembali dari masyarakat untuk posisi gubernur dan wakil gubernur yang kelak otomatis dijabat raja. "Jelas ada perbedaan antara paugeran keraton dengan persyaratan undang-undang soal gubernur dan wakil gubernur. Paugeran tak mengatur tingkat pendidikan atau riwayat pidana, sedangkan undang-undang mengatur hal itu," kata dia.
Itulah sebabnya, kata Sultan, kewenangan untuk melakukan pembaruan terhadap paugeran layak ikut dituangkan dalam undang-undang sehingga suksesi dalam keraton atau pakualaman tak rawan konflik. "Yang jadi patokan aturan jadi gubernur dan wakil gubernur sehingga tidak melanggar undang-undang. Kalau suksesi di dalam keraton, apa pun hasilnya, masyarakat tidak bisa menggugat. Tapi, kalau jadi gubernur, masyarakat bisa menggugat," kata dia.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pemerintahan dalam negeri, yang juga anggota Panitia Kerja RUUK Yogyakarta, Ganjar Pranowo, mengatakan konsekuensi dari sultan adalah gubernur dan gubernur adalah sultan yakni semua aturan paugeran dan undang-undang harus saling menyesuaikan. "Sultan terpilih harus berpendidikan," kata dia.
PRIBADI WICAKSONO
Berita lain:
Kasus Simulator SIM, Pemimpin KPK Disadap Polisi?
KPK Enggan Tanggapi Penyadapan Petingginya
Sahur Tiada Hasil dari Kepala Polri dan KPK
Karsa Curi-Curi Kampanye di Acara Sembako Gratis?
Kenapa Miranda Tebar Senyum di Pengadilan?