TEMPO.CO , Yangon - Pemerintah Myanmar menghentikan kekerasan terhadap media dengan menghapus penyensoran atas media. Ini adalah langkah dramatis menuju kebebasan berekspresi di negara itu.
Berdasarkan aturan baru itu, wartawan tak lagi harus menyerahkan hasil tulisan mereka untuk disensor negara sebelum dipublikasikan. Hampir setengah abad praktek penyensoran ini terjadi. Tapi, tetap tersisa kekhawatiran kekerasan atas media khususnya pada buku. Soalnya, pemerintah masih punya kuasa untuk menindak wartawan dan penerbit yang dianggap ancaman bagi keamanan nasional.
Myanmar atau Burma, selama ini dianggap sebagai negara yang paling dibatasi akses informasinya di Asia Tenggara. Segala berita apalagi yang menyebut soal pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dilarang keras. Namun Presiden Thein Sein--yang sekarang memimpin--menjanjikan reformasi menuju negara yang lebih demokratis dalam setahun terakhir ini.
Pengumuman yang membahagiakan ini dimuat di situs Departemen Informasi pada Senin 20 Agustus 2012. Kepala Pemeriksaan Pers, Tint Swe juga menyampaikan kabar ini kepada sekelompok redaktur media di Yangon. Meski begitu, tetap ada indikasi bahwa pemerintah tetap bisa mengambil tindakan apabila para penerbit ini melanggar aturan.
Nyein Nyein Naing, editor dari Seven Day News Journal yang menghadiri pertemuan itu menyatakan para wartawan masih harus menyerahkan artikel mereka kepada dewan sensor departemen informasi. Namun, lanjut perempuan ini, artikel itu diserahkan sesudah dipublikasikan. Ini agar pemerintah bisa mengawasi apakah media melanggar aturan atau tidak.
Aturan penyensoran ini diberlakukan sejak kudeta militer pada 1962. Wartawan dilarang menulis artikel yang dianggap dapat mengancam perdamaian dan stabilitas negara, atau menentang konstitusi dan menghina kelompok etnis. Akibat aturan ini, banyak wartawan yang dipenjara.
Atas aturan penghapusan sensor ini, Nyein Nyein Naing menyambut baik. Namun dengan catatan, "Kami tetap mesti waspada karena dewan sensor tetap mengawasi kami."
Shawn Crispin dari Committee to Protect Journalist's Southeast Asia yang bermarkas di Bangkok berkomentar pula. "Kalau pemerintah memang tulis mengakhiri era penyensoran sebelum publikasi, ini akan menjadi langkah signifikan bagi kebebasan pers di Burma," ujarnya.
Crispin menambahkan, pentingnya undang-undang pers untuk direvisi agar pekerja media benar-benar memperoleh kedamaian saat bekerja.
AP | NIEKE INDRIETTA
Berita Populer:
Tony Scott Tinggalkan Pesan Sebelum Bunuh Diri
Siapa Yu Wenxia, Miss World dari Cina
10 Museum Terbaik di Berlin
Pembunuh John Lennon Ingin Bebas
Cara Warga Muslim Florida Merayakan Idul Fitri
Kisah Supir dan Satpam Yang Tak Bisa Lebaran