TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Yudisial mendesak Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan jumlah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di seluruh Indonesia. Saat ini, sesuai aturan, pengadilan khusus ini memang harus didirikan di semua ibu kota provinsi.
“Mengingat sulitnya mencari hakim adhoc antikorupsi yang berkualitas dan berintegritas, ada baiknya MA mengupayakan aturan itu direvisi,” kata juru bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar, pada Senin, 20 Agustus 2012.
Rekomendasi Komisi Yudisial ini muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dua hakim adhoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang dan Pontianak, pada Jumat, 17 Agustus 2012. Hakim Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono dicokok saat menerima suap Rp 150 juta, yang terkait dengan perkara korupsi Ketua DPRD Grobogan M. Yaeni.
“Perlu ada kajian ulang soal jumlah pengadilan tindak pidana korupsi di semua provinsi di Indonesia,” kata Asep. Selain itu, Komisi Yudisial juga mendesak Mahkamah Agung menyempurnakan metode seleksi hakim adhoc. Komisi menekankan pentingnya ada penelusuran rekam jejak para calon hakim.
Usulan ini juga terkait insiden penangkapan hakim adhoc di Semarang. Pasalnya, belakangan baru ketahuan bahwa–sebelum mendaftar jadi hakim adhoc tindak pidana korupsi–salah seorang tersangka pernah menjadi advokat dalam sejumlah kasus korupsi. Karena itu, Komisi meminta agar proses seleksi calon hakim diperbaiki dan aspek pengawasan diperketat.
AYU PRIMA SANDI
Berita Terpopuler:
Guru SD Unggah Foto Telanjang di Facebook
Ketua Komisi Yudisial: Kartini dan Heru Bandit
Spanduk di Kuburan, Panwaslu Akan Surati KPU
Soal Simulatur SIM, Polri Bantah Pecah
KPK Tahan Djoko Susilo Setelah Lebaran
10 Polisi Serang Markas TNI di Kaimana
Salat Ied di Shizuoka Diadakan Dua Kali
Perkumpulan Muslim Shizuoka Akan Bangun Masjid
Kisah Supir dan Satpam Yang Tak Bisa Lebaran
Dicampakkan Inter, Pazzini Tunggu Pilihan Terbaik