TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch menyerahkan laporan hasil pelacakan atas pengadilan korupsi di 14 provinsi di Indonesia kepada Komisi Yudisial. Ke-14 provinsi tersebut, di antaranya Jambi, Bengkulu, Semarang, Manado, Padang, Mataram, Kendari, Surabaya, Serang, Medan, Makasar, dan Yogyakarta.
"Dalam beberapa bulan ini, ICW fokus pada rekam jejak di 33 pengadilan tipikor, fokus ke-14 provinsi pada 84 hakim ad hoc," kata peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Donal Fariz, di Komisi Yudisial, Selasa, 28 Agustus 2012.
Alasan mendasar pelacakan ini, kata Donal, disebabkan adanya persoalan serius yang diabaikan Mahkamah Agung ketika melakukan rekrutmen dan seleksi hakim ad hoc. "Selama tiga tahun MA ditargetkan membentuk pengadilan tipikor sehingga dampaknya kewalahan. Tracking tidak berjalan maksimal," ujar Donal.
ICW, kata Donal, juga melakukan eksaminasi kasus korupsi di 10 pengadilan korupsi. "Kami lacak ketika ada putusan-putusan kontroversial. Bagaimana sosok hakimnya, integritas atau tidak?" ujarnya.
Di lain pihak, anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, membenarkan adanya permasalahan dari pelacakan ini. "Memang ada sejumlah persoalan yang terjadi di pengadilan tipikor daerah," ujar Emerson.
ICW dalam hal ini mengklasifikasi permasalahan pada tiga jenis, yakni terkait integritas, adminsitratif, dan kualitas. Sayangnya Emerson enggan menyebutkan jumlah hakim di tiap klasifikasi. "Tidak semua buruk, tapi 70 persen di antaranya memang terindikasi bermasalah," ujarnya.
Persoalan administratif, mayoritas hakim tipikor belum menyerahkan LHKPN. Hakim ad hoc juga masih lekat hubungannya dengan partai politik. "Ada yang bekas anggota DPRD juga," ujarnya.
Secara integritas, ada beberapa hakim pengadilan korupsi yang melanggar kode etik. "Sudah ada yang dilaporkan ke KY, meskipun kami tidak puas dengan sanksi yang diberikan karena hanya dimutasikan," kata Emerson.
Temuan lainnya, kata Emerson, ada hakim pengadilan korupsi yang masih membuka praktek. Bahkan, hakim karier masih menyelesaikan perkara nonkorupsi.
Secara kualitas, ICW menemukan adanya ketidakcermatan dalam mempelajari perkara. "Ini beda perkara, ini beda tipis antara klasifikasi kualitas dengan integritas," ujarnya. Ia menambahkan, hakim ad hoc pasif di persidangan, tapi aktif di luar persidangan.
Komisi Yudisial menyambut baik pelaporan ini. Juru Bicara KY, Asep Rahmat Fajar, mengaku juga telah memantau pengadilan negeri dan empat pengadilan korupsi. "Apa yang disampaikan ICW sejalan dengan yang telah kami lakukan. Ini menambah informasi yang KY butuhkan," ujar Asep.
AYU PRIMA SANDI
Berita terpopuler lainnya:
Mantan Gubernur Ini Akhirnya Nikahi Selingkuhannya
''Baju Kotak'' Jokowi Dijual di Mobil-mobil
Tomy Winata: Konflik Paulus Bukan dengan Andi
Bercinta dengan Pasien, Perawat Ini Diskors
Tommy Winata: Saya Menengahi, Paulus Ajak Damai
Tewas Saat Berfoto dengan Gaun Pengantin
Suami Diam-diam Jadi Donor Sperma, Istri Menggugat
Survei: Wanita Malaysia Paling Tak Setia
Jokowi ''Punya'' Esemka,Gubernur Jabar Tak Mau Kalah
Awal September, Jakarta Punya Wi-Fi Gratis