TEMPO.CO, Jakarta- Kebutuhan dolar Amerika yang terus meningkat menjelang akhir bulan membuat rupiah semakin kehilangan tenaga dan tetap berada di level 9.500 per dolar AS.
Di transaksi pasar uang kemarin, rupiah kembali melemah 32 poin (0,32 persen) menjadi 9.581 per dolar AS. Rupiah bergerak fluktuatif dalam rentang yang cukup lebar antara 9.530-9.580 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup melemah.
Analis Treasury Research Bank BNI, Nurul Eti Nurbaeti, mengatakan permintaan dolar AS oleh korporasi menjelang akhir bulan untuk kebutuhan impor kembali menekan rupiah di pasar uang. “Apalagi kebutuhan dolar untuk transaksi harga minyak dunia yang mulai merangkak naik semakin membuat mata uang Negeri Abang Sam menjauhi mata uang berisiko, termasuk rupiah.”
Hasil lelang obligasi dalam negeri yang tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah serta tekanan jual yang mengakibatkan banyaknya investasi asing yang keluar dari bursa juga turut mempengaruhi posisi safe haven dolar AS. “Selain itu, naiknya nilai tukar dolar AS di pasar non deliverable forward serta dirilisnya data PDB AS tadi malam yang diprediksi naik turut mengeskalasi dolar,” ungkap Nurul.
Dari Eropa, meski sudah ada kepastian untuk mempertahankan Yunani di zona euro, namun investor masih meragukan langkah-langkah penyelesaian krisis utang Eropa. Mekanisme penanganan krisis utang di negara-negara bermasalah dengan membentuk surat utang bersama hingga kini masih belum jelas karena masih ada perbedaan pandangan di antara negara-negara Eropa.
Menurut Nurul, pasar masih menanti dan berharap ada kebijakan moneter baru dari Bank Sentral AS (The Fed) yang akan melakukan pertemuan pada 31 Agustus mendatang. “Stimulus moneter dari The Fed dapat memberikan sentimen positif bagi pasar berkembang, sehingga berdampak pada harapan penguatan rupiah.”
PDAT | M AZHAR