TEMPO.CO, Teheran - Wakil Presiden Boediono, Rabu, 29 Agustus 2012 pagi, tiba di Bandara Internasional Mehrabad, Teheran, Iran. Boediono memimpin delegasi Indonesia yang akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok, di ibu kota Teheran, Iran.
Wakil Presiden disambut Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit, dan Menteri Luar Negeri, Marty Natalagewa, yang sudah tiba lebih dulu.
Pada hari pertama kunjungannya ke Iran, Boediono dijadwalkan bertemu Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, di Istana Kepresidenan Iran. Setelah itu, Wakil Presiden akan mengunjungi Wisma Duta untuk bertemu masyarakat Indonesia.
KTT Non-Blok akan dibuka besok Kamis, 30 Agustus 2012.
Situs Wakil Presiden, wapres.go.id, menyebutkan ada 120 negara anggota, 17 negara pengamat, dan 10 organisasi internasional yang akan menghadiri konferensi.
Di sela pertemuan, Wakil Presiden Boediono akan mengadakan pertemuan bilateral dengan sejumlah negara sahabat.
Gerakan Non-Blok lahir dari Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan pada 18 April 1955 di Bandung, Jawa Barat. Konferensi yang dilakukan tak lama setelah Perang Dunia ke-II itu mempertemukan 29 negara-negara bekas penjajahan di Asia dan Afrika dalam semangat persatuan dan kebersamaan menyongsong era baru kemerdekaan.
Konferensi ini membicarakan sejumlah masalah krusial di antara negara-negara muda tersebut, menumbuhkan embrio persahabatan di antara mereka, dan melahirkan Dasa Sila Bandung, yakni semangat persahabatan dan kesetaraan di antara semua negara di dunia yang kemudian dikenal sebagai 10 prinsip dasar hubungan internasional.
Konferensi Asia Afrika ini juga menjadi faktor utama dalam seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertajuk Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi Negara-negara Kolonial dan Rakyatnya (United Nations Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples) pada 14 Desember 1960. Dalam perjalanannya, seruan ini membuka jalan bagi banyak negara yang masih berada di bawah kolonialisme untuk terbebas dari penjajahan.
Pada 1961, Gerakan Non-Blok lahir di Pertemuan Belgrade sebagai upaya menciptakan kubu netral di antara dua raksasa dunia kala itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang berseteru setelah Perang Dunia ke-II, dalam apa yang kemudian disebut sebagai Perang Dingin.
Lima tokoh besar pendiri Gerakan Non-Blok adalah Presiden pertama Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana Menteri India yang pertama Jawaharlal Nehru, Presiden kedua Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden pertama Ghana Kwame Nkrumah, dan Presiden pertama Indonesia Sukarno.
Pada 1964, 77 negara berkembang yang menjadi bagian dari Gerakan Non-Blok membentuk G-77 atau perkumpulan antarnegara terbesar di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada perkembangannya, kelompok ini juga membangun kerja sama Selatan-Selatan demi memusatkan prioritas pada kerja sama ekonomi internasional dan pembangunan. Anggota G-77 ini sudah berkembang menjadi 131 negara anggota.
WAHYU DHYATMIKA
Terpopuler:
Menteri Lingkungan Imbau Pria Pipis Sambil Duduk
Sipilis Jangkiti Para Aktor Film Porno AS
Biaya Hidup Putin Rp 20 Triliun per Tahun
Gulingkan Presidennya, Wanita Togo Mogok Seks
Israel Sebut Kematian Rachel Corrie
Kenapa Ada Ritual Foto ''Maut'' Bergaun Pengantin
Carrefour Cabut dari Singapura Tahun ini
Jet Tempur Tembaki Damaskus, 60 Tewas
Prancis Buka Penyelidikan Pembunuhan Arafat
Mitt Romney Dikukuhkan Jadi Capres Partai Republik