TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, mengatakan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam sepekan terakhir adalah pertanda Bank Indonesia perlu melakukan intervensi.
Rupiah melemah di kisaran Rp 9.500-9.580 per dolar AS. “Intervensi tetap harus dilakukan. Jika tidak, rupiah bisa terdepresiasi terlalu dalam,” katanya kepada Tempo, Jumat, 31 Agustus 2012.
Meskipun perlu melakukan intervensi, Tony mengimbau agar BI jangan terlalu memaksakan diri. Pasalnya, amunisi utama, yaitu cadangan devisa negara, sudah stagnan dan menipis.
Tony mengatakan, dengan cadangan devisa yang menipis (sekitar US$ 106 miliar), ada baiknya BI mengambil langkah konservatif. Dengan begitu, selain nilai tukar rupiah terjaga, cadangan devisa juga terjaga.
Ia menilai, deprsiasi rupiah ini akibat masih tingginya nilai impor dibanding ekspor. Namun, hal itu memang tidak terhindarkan akibat meningkatnya investasi di Indonesia.
"Impor ini tidak terhindarkan karena lebih ke impor barang modal. Saat ini, pemerintah sedang menggerakkan produksi hilir dan investasi. Karena itu, pengusaha memerlukan kebutuhan bahan baku dari luar negeri," ujarnya.
Tony memprediksi nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 9.500-Rp 9.600 per dolar AS untuk periode satu minggu ke depan. Namun, tidak tertutup juga kemungkinan rebound.
Rupiah kemarin ditutup menguat di level Rp 9.545 per dolar AS. Namun, tadi pagi rupiah sempat melemah di level terdalamnya sejak Juni 2012, yaitu pada Rp 9.584 per dolar AS.
ISTMAN MP
Terpopuler:
Kopiko Sampai Afrika
Belanja di Carrefour Bisa Lewat Internet
Mayora Bangun Pabrik Biskuit Rp 450 miliar
Antisipasi Kenaikan Gas, Mayora Lakukan Efisiensi
Defisit India untuk Konsumsi, Indonesia Investasi
Cuma 1 SPBU di Solo Ada Pompa untuk Pertamina Dex
Pertumbuhan Transportasi Udara Dunia Melambat
Dow Jones Turun 106 Poin
Hutan Hujan Tropis Indonesia Makin Terancam
Likuiditas Valas Ketat, Rupiah Melemah