TEMPO.CO, Jakarta -Senior Regional Economist RBS, Erik Lueth mengatakan pelemahan rupiah belakangan terjadi lantaran impor bertumbuh tinggi sementara ekspor bertumbuh negatif. Akibatnya, permintaan dan pasokan dolar pincang, likuiditas valuta asing (valas) menjadi ketat.
"Banyak orang butuh dolar untuk impor," ujar Erik dalam paparan tentang proyeksi perekonomian Indonesia, Kamis, 30 Agustus 2012. Ia memprediksi rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran 9.600 - 9.700 pada 2012 dan membaik ke level 9.200 pada akhir 2013.
Meski begitu, ia menilai tak masalah jika rupiah melemah ketika neraca berjalan defisit, apalagi di atas 3 persen. Seperti diketahui, neraca berjalan per Juni 2012 tercatat mencapai 3,1 persen dari produk domestik bruto. Ia pun menilai tindakan Bank Indonesia tepat dengan tidak terlalu besar melakukan intervensi rupiah. Pelemahan rupiah baik untuk membuat defisit neraca berjalan turun.
"Neraca berjalan akan membaik, akan ada perbaikan di kuartal IV karena depresiasi nilai tukar," ucapnya. Depresiasi diharapkan membuat impor melambat karena biaya impor mahal dan mendorong ekspor. Defisit neraca berjalan diprediksi bakal berada di bawah 3 persen pada kuartal III dan IV 2012.
Erik mengungkapkan, pelemahan rupiah tak sepenuhnya disebabkan oleh defisit neraca berjalan tetapi juga kondisi ekonomi global, salah satunya kondisi ekonomi Eropa. "Investor menarik modalnya karena Eropa butuh uang," ucap Erik.
Meski begitu, bagi iklim investasi, depresiasi rupiah memberi daya tarik tersendiri bagi investor asing. Ini bisa jadi indikasi bagi investor bahwa rupiah mungkin saja melemah lebih dalam dan mereka untung.
South East Asia Economist RBS, Enrico Tanuwidjaja menimpali pelemahan rupiah juga didorong faktor pelarian modal asing dari pasar berkembang ke investasi dalam bentuk dolar AS.
Ke depan, kondisi neraca berjalan sangat dipengaruhi kondisi ekonomi di luar negeri. "Kalau ekonomi Cina, Amerika dan Eropa lebih lambat dari yang diperkirakan, ini akan membuat neraca berjalan melebar," kata dia. Namun, Indonesia hanya perlu membuat kurs sedikit melemah untuk memperkecil defisit.
Deputi Gubernur Bank Indoensia Hartadi Sarwono berpendapat pergerakan nilai tukar masih dalam batas normal dan sesuai dengan fundamental ekonomi. BI, ucap dia, tidak membatasi likuiditas valas di pasar, bahkan tetap menambah pasokan karena permintaan dari korporasi dalam negeri masih tinggi untuk membayar impor dan utang luar negeri.
Ia membenarkan adanya pengetatan likuiditas valas. Meski begitu, bank sentral tetap ada di pasar untuk menutup kekurangan valas secara terukur.
MARTHA THERTINA