TEMPO.CO , Jakarta--Laut tak lagi luas bagi Ujang. Nelayan yang biasa melaut di perairan Teluk Jakarta itu harus mencari jalan memutar untuk pergi berlayar. Mengarah ke timur maupun ke barat, dia banyak terbentur kavling-kavling. “Tak banyak lagi kerang hijau dan rajungan yang bisa dijaring dan dibawa pulang,” katanya kemarin.
Ujang adalah satu dari sejumlah nelayan pesisir utara Jakarta yang terancam nasibnya. Bersaing di kawasan yang semakin sempit, tak sedikit di antara mereka akhirnya menggantung jaring dan melipat layar.
Ujang dan mereka yang masih bertahan menuding sebuah proyek raksasa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun tanggul di Teluk Jakarta sebagai penyebab. Proyek senilai puluhan triliun rupiah dan ditargetkan rampung dalam 25 tahun itu memang telah mulai dirintis dengan reklamasi-reklamasi di pesisir.
"(Proyek reklamasi) ini menyulitkan masyarakat di sana, akses melaut semakin hari semakin sempit. Banyak yang ditutup," kata Ketua Masyarakat Nelayan Pesisir Jakarta, Lazarus Rio Jamborneas, di kantor Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
Menurut Rio, proyek reklamasi di antaranya dari Kapuk Muara sampai Cilincing. Itu sudah cukup untuk membuat penghasilan para nelayan turun drastis. “Dulu satu hari bisa mendapat Rp 100 ribu, sekarang Rp 20 ribu saja sulit," kata Rio.
Reklamasi dan tanggul raksasa memang satu paket dalam Jakarta Coastal Defense Strategy, sekaligus meniti cita-cita membangun Jakarta sebagai Water Front City. Cita-cita itu bahkan telah termaktub dalam rencana tata ruang wilayah DKI Jakarta hingga 2030 nanti.
“Saya telah menyelesaikan masterplan-nya dari masa depan Jakarta sebagai Water Front City ini,” kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dalam sebuah wawancara khusus, Mei lalu.
Pernyataan itu, yang disertai dengan gambar-gambar rancangan Water Front City, belakangan diunggah dan beredar lewat situs YouTube. “Pemimpin yang amanah adalah yang bertanggung jawab untuk mulai menata masa depan generasi penerusnya sedini mungkin,” bunyi penggalan pengantar video bikinan Pemerintah Provinsi DKI itu.
Fauzi sendiri menyatakan bahwa tanggul bukan cuma untuk membendung ancaman banjir yang datang dari laut alias rob. Ini berkaitan dengan muka tanah Jakarta yang terus turun akibat eksploitasi air tanah yang tinggi.
Tanggul ini juga sekaligus untuk membendung air tawar dari 13 sungai dan akan diolah menjadi bahan baku air bersih. Bendungan seluas 50 kilometer persegi itu disebutkannya, “Bisa melindungi kebutuhan air warga Jakarta hingga 100 tahun ke depan.”
Namun, Sekretaris Jenderal Kiara, Riza Damanik, kemarin kembali menyatakan bahwa proyek itu hanya akan merugikan secara sosiologis, ekologis, dan ekonomis. Proyek ini disebutnya tidak menjawab masalah kemiskinan yang meluas di pantai utara Jakarta.
Belum lagi, dia menambahkan, tidak memperhatikan masalah pengelolaan lingkungan hidup. “Proyek ini merampas ruang hidup masyarakat di pantai utara Jakarta," katanya.
Manajer Pendidikan dan Penggalangan Dukungan Publik Kiara, Selamet Daroyni, mengatakan, program reklamasi yang telah berjalan sejak 2001 sampai 2011 ini juga telah menggusur 3.579 keluarga.
Baik Selamet maupun Riza menyatakan harapannya agar proyek itu bisa dihentikan. Kiara mendesak hal itu, di antaranya dengan melakukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung atas payung hukum proyek, yaitu Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
“Jika payung hukum ini dibatalkan, seluruh proyek dianggap inkonstitusional,” kata Selamet sambil mengatakan bahwa gugatan dilayangkan pada 14 Agustus lalu.
ANANDA W. TERESIA | WURAGIL
Berita Populer:
Jokowi: Ada Instruksi Agar Yang di Sana Itu menang
83 Persen Melawan 17 Persen,Jokowi Yakin Menang
Kang Jalal pun Diancam Mati
Kisah Kang Jalal Soal Syiah di Indonesia(Bagian 2)
Indonesia Pemilik Pertama Super Tucano di ASEAN
Cerita Jalaluddin Rakhmat Soal Syiah Indonesia (Bagian I)