TEMPO.CO, Yogyakarta - Halaman utama Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, sejak Selasa, 4 September 2012 dipenuhi tenda yang memajang berbagai barang. Ada kaus dengan gambar sketsa, wayang berukuran mini, pameran buku budaya dan sejarah, batik, hingga lukisan dalam ukiran mini.
Di tengah belasan tenda itu didirikan panggung besar dilengkapi dengan pengeras suara dan peralatan musik. Semua perangkat itu untuk memeriahkan kegiatan bertajuk Pekan Apresiasi Museum Benteng Vredeburg yang berlangsung pada 4-8 September 2012.
Acara itu dirancang untuk memetakan posisi baru Vredeburg setelah perubahan struktur birokrasi tahun lalu. Vredeburg saat ini sudah tidak lagi masuk dalam struktur Dinas Pariwisata, tapi di Dinas Pendidikan. “Museum tidak bisa lagi sekadar diam sebagai obyek yang menunggu didatangi pengunjung. Lama-lama bakal membosankan dan sepi,” kata Staf Pengkajian Sejarah Museum Vredeburg, Haris Budiarto, kepada Tempo.
Pekan apresiasi memposisikan Vredeburg sebagai motor penggerak kegiatan sosiobudaya di sekitarnya. “Hidupnya elemen budaya sekitarnya akan menghidupkan fungsi museum,” kata dia. Menurut Haris, agenda utama kegiatan itu adalah memancing apresiasi masyarakat terhadap Vredeburg sebagai satu museum tertua.
Menurut Haris, sejak didirikan pada 1765, koleksi museum saat ini jauh dari lengkap. Dari sekitar 6.000 item koleksi benda sejarah, kebanyakan hanya didominasi koleksi masa kemerdekaan dan Agresi II 1948. “Ini sangat memprihatinkan. Kami masih kehilangan link dan bukti pada masa pemerintahan Jepang, juga saat penjajajahan Belanda,” kata dia.
Padahal, sampai saat ini kemungkinan masih banyak sekali artefak penting yang mungkin tercecer di masyarakat pada periode itu. “Satu yang kami kejar terus adalah dokumen, terutama kondisi pemerintahan saat Jepang berkuasa. Bukan hanya soal kekejaman yang selama ini diceritakan sejarah,” kata dia. Misalnya, saat perekonomian sempat ambruk ketika masa peralihan kekuasaan Belanda ke Jepang pada 1942. Padahal, Yogyakarta dengan pabrik gula Madukismo pada masa Belanda sempat menjadi andalan ekspor ke Eropa.
Bahkan, pada satu fragmen diorama perjuangan digambarkan prajurit pada masa Agresi II mampu merakit senjata. Masalahnya, dokumen tentang perbengkelan senjata pada masa Jepang di Yogya tidak ditemukan. “Kami sudah mencari ke Badan Arsip Nasional, tapi tetap saja minim,” kata dia. Pengelola museum yakin, meskipun pemerintahan Jepang sangat berbau militer ketat, tidak semua dokumen itu seluruhnya diangkut ke Jepang.
Pekan apresiasi ini juga menggelar pemutaran film Naga Bonar, Merah Putih, hingga berbagai diskusi mengenai perkembangan museum. Selain itu, pagelaran juga diisi dengan puluhan kegiatan kesenian dari siang sampai malam berupa pentas musik tradisional, modern, hingga pameran berbagai hasil kerajinan seperti kaus sketsa, lukisan, serta hasil bumi berupa biji kopi-kopian. Acara penutup akan menampilkan kelompok Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib.
Agus Sulistya, koordinator penyusunan program Museum Benteng Vredeburg, mengatakan pekan apresiasi ini juga untuk mengantisipasi kejenuhan kunjungan. Kunjungan wisatawan ke museum benteng tiap tahun meningkat. Pada Juli lalu tercatat 24.266 orang. Sedangkan pada Agustus lalu meningkat 50 persen. Namun, katanya, tingkat apresiasi masyarakat terhadap museum masih kurang. "Selama ini museum masih sebatas menjadi obyek, belum dijadikan subyek,” kata dia. Pekan apresiasi disiapkan menjadi embrio acara tahunan, yakni Vredeburg Fair.
PRIBADI WICAKSONO
Terpopuler:
Mirwan Amir Akui Dana Miliaran di Rekeningnya
Diskusi Buku Prijanto Ricuh
Fabregas Frustrasi di Barcelona
Diperiksa KPK, Jacobus Bungkam Soal Fee Bhatoegana
Analis: Hati-Hati Beli Saham Kelompok Bakrie
Gunung Termungil Sejagad Ada di Amerika