TEMPO.CO, Jakarta -Jumat, 7 September 2012, hari ini, merupakan delapan tahun kematian Munir Said Thalib alias Munir, seorang aktivis hak asasi manusia. Kematian pria kelahiran Malang, Jawa Timur, yang juga pejuang hak-hak buruh ini mendapatkan perhatian luas aktivis gerakan mahasiswa dan buruh di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Para aktivis di Cianjur, Jawa Barat, yang tergabung ke dalam Institute Study and Development (Inside) Cianjur dan Dewan Kota Cianjur, misalnya, menggelar aksi dengan mengganti nama Jalan Pasir Gede Raya menjadi Jalan Munir SH. "Penggantian nama jalan ini tidak hanya penghormatan untuk Cak Munir, tapi juga penanda agar masyarakat tidak melupakan kasus pembunuhannya."
Sedangkan aktivis Gerakan Masayarakat Aceh memperingati kematian Munir di Simpang Lima, Banda Aceh. Mereka berorasi dan mengusung poster Munir sebagai bentuk peringatan kepada pemerintah. Dalam orasinya, para aktivis meminta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menetapkan Munir sebagai pahlawan nasional dan mengusut kematiannya.
Menurut Wahyu Susilo dari Migrant Care, Munir tak hanya pendobrak kebuntuhan hak asasi manusia di Indonesia melainkan juga sebagai pejuang keadilan buruh. Wahyu menuturkan, Munir lah yang mendorong lembaga yang dipimpinnya menggugat pemerintah atas ketidakpeduliannya terhadap kondisi buruh Indonesia di Sabah, Malaysia, pada 2002. Bagi para pejuang buruh, Wahyu menambahkan, kegigihan Munir sangat menginspirasi. "Dia membela semua orang yang dilanggar hak asasinya, termasuk warga negara asing."
Munir meninggal dalam penerbangan dari Jakarta ke Belanda pada 7 September 2004, delapan tahun lalu. Hasil otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda menunjukkan bahwa kematian Munir disebabkan keracunan makanan yang mengandung arsenik. Kuat dugaan dia meninggal akibat diracun.
Sahabat Munir yang sama-sama pernah aktif di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Boedhi WIjardjo, mengatakan kepada Tempo, pekan lalu, bahwa proses peradilan terhadap kasus kematian Munir belum tuntas. “Harus ada kemauan politik pemerintah untuk mengungkap siapa sesungguhnya dalang pembunuhan Munir,” ujarnya. Boedhi menambahkan, “Bila kasus ini tak dibuka lebar, maka bakal menjadi pertanyaan anak cucu di masa depan.”
Pendapat senada disampaikan oleh Andi Soebyakto, sahabat Munir lainnya ketika sama-sama sebagai aktivis mahasiswa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Andi mengatakan, kematian Munir akan tetap menjadi residu bagi peradaban bangsa ini. “Kelak, suatu saat, entah kapan, akan terungkap siapa pelaku sesungguhnya,” kata Andi.
“Munir itu simbol korban pelanggaran hak asasi manusia," ujar Dhandy D. Laksono, sutradara film Munir berjudul Kiri Hijau Kanan Merah kepada Tempo, Selasa, 4 September 2012.
Semasa hidupnya sebagai aktivis hak asasi manusia di Surabaya pada 1990-an, Munir kerap dicari-cari intelijen dan tentara. Apakah aktivitasnya membahayakan pemerintahan Orde Baru waktu itu, tak jelas benar. Yang pasti, kala itu, Munir adalah seorang “mentor” bagi kaum buruh. Dia mengajar tentang para buruh masalah perburuhan.
Pria ini sepertinya tak gentar dengan upaya kelompok intelijen membungkam aksinya. “Padahal dia itu dicari-cari terus oleh intelijen,” ujar Sukarjono, bekas buruh. Munir pun kerap menginap di kantor LBH Surabaya di Jalan Kidal 6 Surabaya. “Sore hari, pria keturunan Arab ini datang, baru pulang keesokan paginya. Malam pun, suami Suciwati ini tidak pernah tidur. Dia ngetik terus," kata Sukoharjo.
Kini kematian Munir telah menjadi simbol perlawanan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan kaum buruh di Indonesia. Seluruh pendukung serta simpatisannya berharap pemerintah bersedia menjadikan Munir sebagai pahlawan nasional yang berani melawan kesewenang-wenangan dengan pengorbanan nyawa.
DEDEN ABDUL AZIS | DIANING SARI | NIEKE INDRIETTA | CHOIRUL
Berita lain:
Edisi Khusus Munir
Jalan Munir Diresmikan di Cianjur
Munir, Inspirasi Pejuang Buruh
Suciwati Bikin Galeri Perjuangan Munir
Munir dan Perempatan Jalan yang Diblok