TEMPO.CO, Jakarta -Almarhum pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib banyak menimba pengalaman ketika masuk Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Bahkan, rekan sekaligus adik kelas Munir di Universitas Brawijaya Malang, Deddy Prihambudi, menganggap kepedulian Munir terhadap masyarakat terpinggirkan mulai muncul di LBH Surabaya.
“Setelah Munir berada di LBH, dia tahu persis bagaimana problem-problem perburuhan di Malang, Surabaya, Jawa Timur,” ujar Deddy dalam film dokumenter Munir berjudul Kiri Hijau Kanan Merah yang diproduksi 2009. “Sekatnya bukan lagi sekat ideologi: hijau atau merah seperti saat itu.”
Munir menjadi relawan di LBH Surabaya pada 1989. Dua tahun kemudian, ia menjadi Ketua LBH Surabaya untuk Pos Malang.
Menurut Deddy, Munir mulai menyadari situasi kompleks Indonesia di LBH Surabaya. LBH Surabaya pula yang menjadi kawah candradimuka bagi Munir.
“(Di LBH Surabaya) dia meramu apa sih yang terjadi di tanah air. Apa yang terjadi di Jawa Timur. Hukum mandek dan segala macam,” kata Deddy.
Munir tewas diracun pada 7 September 2004. Kala itu, usia Munir 38 tahun dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial.
Sampai saat ini, otak pembunuhan Munir belum terungkap. Sejak 2005, para aktivis mencanangkan hari tersebut sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.
KODRAT
Berita Terkait
EDISI KHUSUS: Sewindu Munir
JAT: Kekerasan Atas Nama Syariat Islam, Halal
Mengenal Lebih Dekat Sosok Munir
Mengapa Munir Telat Mengenal Wanita
Diidolakan Munir, Ini Komentar Iwan Fals
Alasan Munir Disukai Banyak Wanita