TEMPO.CO , Jakarta - Hylarana rawa bukan spesies katak sembarangan. Katak mungil berwarna cokelat dan berkulit keriput ini adalah penghuni ekosistem rawa gambut. Tidak semua spesies katak bisa hidup di hutan rawa gambut yang tanahnya memiliki pH (derajat keasaman) cukup rendah, yakni sekitar 3-5.
"Hanya katak spesies tertentu yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan asam," kata Amir Hamidy, peneliti Laboratorium Herpetologi, Museum Zoologi Bogor, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pekan lalu lewat surat elektronik, Sabtu 8 September 2012.
Hutan rawa gambut merupakan jenis ekosistem lahan basah. Ekosistem ini banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, Amerika Tengah, Kepulauan Karibia, Afrika Selatan dan Amerika Selatan. Indonesia memiliki 21 juta hektare dari total 400 juta hektare hutan rawa gambut dunia.
Pulau Sumatera -pulau terbesar keenam di dunia dengan luas 47,36 juta hektare-memiliki 7,2 juta hektare hutan rawa gambut. Sekitar separuh dari luas hutan rawa gambut tersebut terdapat di Provinsi Riau, lokasi penemuan katak Hylarana rawa.
Amir mengatakan, ekosistem rawa gambut memang mendukung kehidupan beberapa spesies amfibi. Namun ia tidak mengira katak spesies baru yang belum banyak dipelajari seperti Hylarana rawa ternyata juga bergantung hidup pada ekosistem jenis ini.
Ia menilai perlu survei lanjutan untuk menemukan kembali spesimen katak unik ini supaya informasi biologi dan status konservasinya bisa lebih banyak diungkap. Apalagi ia dan koleganya baru menemukan satu ekor spesimen Hylarana rawa sehingga informasi tentangnya masih sangat minim.
"Jangan sampai penemuan kali ini menjadi yang terakhir ditemukannya Hylarana rawa," ujar mahasiswa program doktoral di Graduate School of Human and Environmental Studies, Universitas Kyoto, Jepang.
Kekawatiran ini cukup beralasan karena amfibi merupakan hewan yang sangat rentan dengan perubahan lingkungan, termasuk pemanasan global. Alih-alih menemukan spesies baru, tingginya laju perusakan hutan, termasuk hutan rawa gambut, justru memicu laju kepunahan amfibi.
MAHARDIKA SATRIA HADI
Berita terpopuler lainnya:
Lumia 920, Isi Ulang Tanpa Kabel
Ilmuwan Mereka Mimpi Tikus
Mengapa Telur yang Lonjong Lebih Kuat?
Melon Jadi Bahan Pembuat Parfum
Teka-Teki di Balik Undangan Apple
Gubernur Jawa Barat Pesan Seribu Traktor ke ITB