TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewi Aryani, mengatakan, kelebihan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terjadi lantaran pemerintah gagal menaksir kebutuhan BBM, terutama Premium.
"Mengimbau masyarakat jangan boros, ini salah. Pemerintah harus introspeksi," ucap Dewi dalam diskusi bertajuk "BBM Boros, Anggaran Keropos", Sabtu, 15 September 2012.
Dewi mencatat, realisasi konsumsi BBM bersubsidi selalu melebihi anggaran sejak tahun 2007. Bahkan, pada 2007, margin antara realisasi volume BBM bersubsidi dan kuota pada APBN Perubahan mencapai 4 juta kiloliter.
Dari anggaran 35,54 juta kiloliter, realisasinya 39,18 juta kiloliter. Tahun ini, pemerintah mengusulkan penambahan 4 juta kiloliter kuota BBM bersubsidi hingga akhir tahun karena kuota BBM bersubsidi nasional diperkirakan habis Oktober 2012.
"Ini memperlihatkan kesalahan pemerintah yang tidak hanya lalai merencanakan anggaran, namun juga dalam pengawasan kegiatan hilir, seperti distribusi dan konsumsi BBM bersubsidi," ucap Dewi.
Akibat kesalahan ini, masyarakat harus menelan pil pahit: disalahkan. Bukan hanya itu, masyarakat harus merasakan dampak kelangkaan BBM bersubsidi.
Kesalahan perhitungan pemerintah juga berdampak pada keluarnya biaya pembahasan APBN perubahan. "Ini menambah kembali beban APBN melalui berbagai biaya tambahan untuk kegiatan koordinasi dan lobi pemerintah," ucapnya.
Direktur Bahan Bakar Minyak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto membantah menyalahkan masyarakat atas habisnya kuota BBM.
"Rakyat tidak salah, yang kami minta melakukan penghematan juga orang-orang tertentu saja, mobil dinas di Jabodetabek dan Jawa-Bali, serta perkebunan. Yang kami salahkan rakyat yang menggunakan mobil mewah, tapi tetap pakai BBM bersubsidi dan pencuri BBM serta mafia BBM," ujarnya.
MARTHA THERTINA