TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, menyatakan pemerintah Indonesia tidak nyaman dengan adanya sayembara penangkapan Presiden SBY di Inggris.
Istana, kata Julian, merasa perlu menanggapi karena rumor sayembara penangkapan mulai menyebar luas. "Terus terang ini mengganggu hubungan baik kedua negara, tidak nyaman bagi kami, perlu diluruskan," kata Julian, di pelataran parkir Istana Negara, Rabu, 19 September 2012.
Sebelumnya, dikutip dari laman radio New Zealand International (rnzi.com), seorang aktivis Tim Advokasi Papua Barat, Ed McWilliams, menawarkan US$ 80 ribu untuk menangkap Presiden SBY selama berkunjung ke Inggris, pada 31 Oktober-2 November 2012. Entah mendapat data dari mana, Ed mengklaim, SBY sedang diincar Pengadilan Kriminal Internasional karena telah menyebabkan genosida terhadap 500 ribu orang Papua.
"Secara luas, saya pikir militer Indonesia, TNI, terus beroperasi brutal di Papua Barat dan dengan kebijakan pembiaran selama beberapa dekade ini, fasilitas kesehatan dan pendidikan di Papua Barat, terutama di daerah terpencil," kata Ed.
Julian melanjutkan pemerintah sudah berkomunikasi intens dengan Kedutaan Inggris di Jakarta. Apalagi rencana kedatangan SBY ke London, Inggris merupakan undangan resmi Ratu Elizabeth II yang disampaikan pada saat kunjungan kerja Perdana Menteri David Cameron. "Jelas (diundang) dalam kapasitas sebagai kepala negara, jadi jelas tidak mungkin kepala negara ditahan atau ditangkap," Julian menegaskan.
Keamanan SBY di Inggris akan sepenuhnya mendapat jaminan dari Kerajaan Inggris, dalam hal ini Police Metropolitan Services. Sehingga sayembara dipastikan tidak akan mengganggu jadwal kunjungan. "Justru kesepahaman kedua negara, saat ini, tidak terjadi missunderstanding, bahwa isu sayembara Mr. William tidak akan mengganggu rencana kunjungan," kata dia.
Julian menjelaskan, sebenarnya dirinya dan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sudah sepakat untuk tidak menanggapi sayembara tersebut. "Tetapi ini harus diluruskan agar publik mengetahui situasinya," kata dia.
Pemerintah juga menilai sayembara hanyalah suara dari orang yang memiliki kepentingan tertentu terhadap wilayah Papua. Sehingga, sementara ini belum akan ada tindak lanjut. "Baru dipastikan itu bukan dari pemerintah atau lembaga resmi, disuarakan sekelompok orang yang mungkin memiliki kepentingan politik atau lainnya," kata dia.
ARYANI KRISTANTI