TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan perbankan menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi soal piutang bank pelat merah. Direktur Keuangan Bank Tabungan Negara (BTN), Saut Pardede, misalnya, mengungkapkan, keputusan ini membantu bank BUMN untuk bisa memiliki level of playing field yang sama dengan Bank non-BUMN.
Seperti diketahui, hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait uji materi Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Tahun 1960 tentang PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Mahkamah Konstitusi memutuskan PUPN tidak lagi berwenang menagih piutang badan usaha milik negara (BUMN).
PUPN hanya berwenang menagih piutang negara. MK berpendapat BUMN merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah keuangan negara. Oleh karena itu, kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-piutang BUMN tunduk pada UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Saut menambahkan, sebenarnya, sudah ada rancangan Undang-Undang tentang piutang negara yang juga diinisiasi oleh pemerintah. "Kita tunggu persetujuan DPR tentang hal yang sama," ucapnya, Selasa, 25 September 2012.
Adapun soal besar haircut yang mungkin diterima debitor, kata Saut, akan disesuaikan dengan besaran kredit, kemampuan membayar nasabah dan kemampuan Bank itu sendiri. "Dengan fasilitas ini, sebaiknya prioritas untuk golongan UKM, sehingga diharapkan bisa bangkit kembali setelah mendapat fasilitas ini," ujarnya.
Meski begitu, Direktur Utama BTN, Iqbal Latanro masih ingin melihat implikasinya kemudian. "Kami lihat dulu implikasinya bagaimana, ini kan sudah jelas mana yang piutang negara dan piutang korporasi," ucapnya.
Iqbal menjelaskan, hingga kini jumlah piutang bank di BTN tak sampai Rp 100 miliar. "Tidak banyak," ucapnya. Kebanyakan debitor berasal dari segmen retail.
Ekonom Bank Negara Indonesia, Ryan Kiryanto menjelaskan, keputusan mahkamah konstitusi tersebut sudah sesuai dengan ekspektasi kalangan BUMN, terutama Bank BUMN. "Sejak dulu memang Bank BUMN sudah meyakini bahwa piutang bank BUMN (termasuk yang sudah menjadi kredit macet) adalah bukan piutang negara seperti diamanatkan oleh Perpu No. 49/1960 tentang PUPN melainkan sebagai piutang korporasi," ucapnya.
Alasannya, modal yang ditempatkan oleh negara sudah melebur menjadi modal perseroan seperti amanat Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang Pasar Modal. "Dengan demikian, perlakuan kredit macet di Bank BUMN bisa diterapkan seperti di bank-bank swasta, di mana Bank BUMN boleh memberikan haircut atas utang pokok dan atau bunga pinjamannya," ucapnya.
Ia membenarkan, piutang bank BUMN memang bisa dihapusbukukan (write off). Tapi tidak hapus tagihnya. "Dalam konteks untuk hapus tagih, bank BUMN boleh memberikan haircut sehingga NPL (rasio kredit macet) turun dan provisi atau cadangan juga turun, alhasil kinerja bank BUMN akan lebih kinclong lagi," ucapnya.
Debitor juga diuntungkan karena ada peluang beroleh haircut. "Namun, untuk tidak timbulkan moral hazard, pemberian haircut harus hati-hati dan selektif dengan mempertimbangkan kemampuan dan karakter debitor," ujarnya.
Meski putusan MK sudah jelas, namun, Ryan menilai, akan lebih menguatkan bagi bank BUMN jika BI, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung dan Polri sepakat dengan keputusan MK. "Sehingga tidak ada keraguan dan kegalauan di kalangan bank BUMN untuk melakukan tindakan-tindakan terkait dengan piutang macetnya," ucapnya.
Regulator dan penegak hukum harus satu pandangan dengan MK dulu, baru bank BUMN berani dan bisa melaksanakan keputusan MK. "Tidak tepat lagi pengenaan kerugian keuangan negara dalam konteks pemberian haircut atas utang pokok dan/atau bunga pinjaman," ujarnya.
MARTHA THERTINA