TEMPO.CO, Jakarta - Mekanisme Dana Pembangunan Pendidikan Nasional (DPPN) atau dana abadi dinilai tidak tepat. Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, cara penggunaan dana semacam itu menyalahi mekanisme anggaran, tidak ada dasar hukum, dan rawan korupsi.
“Pengelolaan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus sesuai dengan mekanisme APBN,” kata Febri kepada Tempo dalam wawancara telepon pada Rabu, 26 September 2012. Mekanisme APBN mensyaratkan penggunaan dana dibahas terlebih dulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum digunakan. Sedangkan penggunaan bunga DPPN itu, kata Febri, sepenuhnya dalam kuasa Badan Layanan Umum (BLU).
Menurut Febri, mekanisme yang sepenuhnya dalam kuasa BLU membuat anggaran tak termonitor. BLU dapat seenaknya memberikan beasiswa kepada siapa pun tanpa berkonsultasi dengan DPR. “Mekanisme macam itu tak ada dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,” katanya.
Selain tak seusai dengan mekanisme anggaran, kata Febri, dana abadi itu rawan korupsi. Sebab, dana yang begitu besar akan menjadi rebutan bankir atau lembaga investasi. “Bisa saja mereka melobi pejabat kementerian atau DPR,” kata Febri.
Dengan begitu, kata Febri, akan muncul fee broker atau uang balas jasa kepada pejabat yang berhasil menggiring duit tersebut masuk ke bank atau lembaga investasi tertentu. Febri memisalkan, jika fee broker sebesar 1 persen saja dari bunga, pejabat bisa mendapatkan Rp 100 miliar.
Dana abadi pendidikan dimulai pada 2010 dengan penyisihan Rp 1 triliun dari anggaran fungsi pendidikan. Lalu, jumlah tersebut bertambah menjadi Rp 3,6 triliun pada 2011 dengan alokasi pemerintah Rp 2,6 triliun untuk dana abadi. Tahun ini, aliran yang masuk mencapai Rp 7 triliun sehingga jumlahnya melonjak tajam menjadi Rp 10,6 triliun. Pada 2013 akan ada penyisihan sekitar Rp 5 triliun. Dana itu akan dikelola BLU di bawah kementerian dan akan disalurkan untuk beasiswa, penelitian, dan perbaikan infrastruktur.
GADI MAKITAN