TEMPO.CO, Yogyakarta- Petikan dawai sayup terdengar di pelataran parkir Galeri Sangkring Art Space Nitiprayan, Yogyakarta, yang masih sepi pada Selasa malam 25 September 2012 lalu. Belum ada seorang pun penonton menduduki sekitar 20 kursi plastik yang ditata menghadap panggung mini berwarna merah menyala. Di belakang panggung, lima lelaki paruh baya duduk berkonsentrasi dengan alat musik di tangan. Mereka terus memainkan instrumentalia tanpa putus hingga penonton mulai datang.
Adalah Paguyuban Se Hu Hok Ho An yang menggelar wayang potehi pada malam itu. Kelompok asal Jombang Jawa Timur itu membawakan lakon Kwee Tjoe Gie, yang dicuplik dari sejarah Cina kuno abad ke-7, Dinasti Tang. Menurut Sesomo, 67 tahun, pemimpin kelompok ini, sepi atau ramainya pengunjung tak menyebabkan pertunjukan itu molor atau batal. “Potehi kuncinya hanya membuat betah penonton. Kalau sudah duduk, dalang harus kreatif agar penonton tidak pergi,” kata kakek 16 cucu itu.
Dalam pertunjukan ini, pria kelahiran Surabaya, 11 Mei 1945, itu dengan tangkas mengisahkan epik kepahlawanan Kwee Tjoe Gie dalam Dinasti Tang. Kisah ini bercerita tentang kepahlawanan, pengkhianatan, dan percintaan yang diselingi penuturan dalam bahasa Hokkian saat pergantian babak.
Sesomo membuat penonton tergelak saat dia menyelipkan guyon khas bahasa Jawa Timuran yang kental. Misalnya, ketika seorang tokoh nan gemuk mengenalkan diri sebagai pendekar untuk bertarung dalam sayembara yang diadakan untuk meminang putri Bo Kim Hwa, Sesomo mencemooh dengan menyebut tokoh itu pendekar, akronim pendek, lemu kerep ndokar (pendek gemuk sering menarik kereta kuda).
Dia menggambarkan sang putri yang akan dipinang sebagai sosok yang sangat haus belaian, tapi Kwee Tjoe Gie menolak menikahi putri itu setelah menang bertarung. Sang putri pun menubruk tubuh Kwee Tjoe Gie dan tenggelam di balik panggung. Pertunjukan berdurasi 2 jam ini berakhir tanpa jeda.
Sesomo dan kelompoknya, yang dikenal juga dengan nama Fu He An Gudo, menggelar tur selama sepekan, pada 23-28 September 2012, di Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah, yakni di Sangkring Art Space mereka berpentas tiga kali (terakhir 28 September), di Syang Art Space Magelang (26 September), Pondok Pesantren Panda Arang Kaliurang (27 September), dan Gereja Pugeran Yogyakarta (29 September). Khusus di Sangkring, digelar juga pameran kecil satu set wayang potehi berjumlah 100 lebih karakter koleksi pribadi promotor Sesomo asal Jombang, Toni Harsono, yang juga seorang sehu (dalang) potehi.
Sebagai orang Jawa tulen, Sesomo menyatakan bahwa dia sangat fasih berbahasa Hokkian dan mengisahkan sejumlah lakon potehi karena telah 40 tahun lebih memainkannya. Potehi yang dikenalnya sejak berusia 12 tahun itu tak berbeda dengan kesenian Jawa seperti wayang purwo dan kulit. Kala itu, di sekitar Pabean, Cantikan, dekat Kampung Jepun, Surabaya, banyak kelenteng. Dia sering menonton pergelaran wayang potehi dan hal itu mendorong dia belajar mendalang. “Awalnya, saya disuruh pegang tambur (alat musik tabuh) untuk mengiringi musiknya. Enggak boleh pegang wayang dulu, soalnya mahal, takut rusak,” kata dia. Satu set wayang potehi (berisi 160 karakter), yang kebanyakan dibuat dari kayu waru gunung, memakai kain satin, dan bordir, saat ini harganya Rp 125-150 juta. Panggung mini yang dipenuhi ukiran harganya Rp 50 juta.
Setelah lulus sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) pada 1962, barulah Sesomo diizinkan mendalang dengan memegang wayang, meski masih memakai teks saat tampil hingga 3 tahun kemudian. Teks itu dia salin dari semua literasi yang ada. “Saya nyusun sendiri karena kurang yakin kalau cuma dari satu sumber, ceritanya sering loncat-loncat, bikin bingung” kata Sesomo. Lakon yang paling sering dibawakannya adalah dari Dinasti Tang, Song, dan Jin. Tiap dinasti mempunyai puluhan fragmen.
Pada awal penampilan, Sesomo sering dikritik ahli potehi kala itu. Misalnya soal ceritanya berbeda dengan cerita asli. Namun, dia berkilah bahwa wayang potehi itu dimainkan di Indonesia sehingga tak perlu sama persis dengan aslinya di Tiongkok. “Harus diimprovisasikan dengan kultur lokal, guyonan, biar orang merasa akrab,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO