TEMPO.CO, Seamarang -- Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan terdakwa kasus penodaan agama, pemimpin Amanat Keagungan Ilahi (AKI), Andreas Guntur. Mahkamah Agung menjatuhkan vonis yang sama di tingkat pertama Pengadilan Negeri Klaten, yakni vonis empat tahun penjara.
Kepala Kejaksaan Negeri Klaten, Yulianita, menyatakan sudah menerima pemberitahuan putusan dari MA itu. "Baru-baru ini kasasi sudah turun," kata Yulianita di Semarang, Jumat, 28 September 2012. Namun, kata Yulianita, Kejaksaan Negeri masih menunggu salinan putusan MA untuk mengajukan penetapan inkrah kasus ini.
Hakim MA menilai terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 156 a huruf a KUHP. Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Klaten, Andreas Guntur juga divonis empat tahun penjara. Vonis maksimal tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut yang meminta Andreas dihukum empat tahun penjara.
Yulianita mengakui kasus penodaan agama ini salah satu kasus yang mendapatkan perhatian beberapa kelompok umat Islam. "Tiap sidang pun banyak forum umat Islam yang memantau sidang," kata dia.
Jaksa menilai ada ajaran menyimpang kelompok ini karena mengakui adanya wahyu yang diberikan melalui malaikat Jibril terhadap almarhum Muhamad Syamsoe. Guntur sendiri menerima ajaran AKI dari Syamsoe. Jaksa menyatakan terdakwa mendapatkan ajaran itu dari Jakarta. Setelah itu, ia menyebarkan di Kampung Kanjengan, Bareng, Klaten.
Modus penyebaran ajaran ini adalah melalui pengobatan orang-orang yang sakit. "Setelah sembuh, mereka mengikuti ajaran Amanat Keagungan Ilahi (AKI). Jaksa menyatakan AKI menyebarkan berbagai poster. AKI dinilai mencampuradukan ayat-ayat Quran dengan tulisan lain yang tidak diketahui maknanya. Akibatnya, kata jaksa, tulisan itu mencampuradukan ajaran agama Islam dan menodai agama. Jaksa juga mendasarkan pada SK Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor R-538/P2.3/Dsb.1/11/1993 untuk melarang kelompok AKI.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang menyatakan kasus jerat hukum penodaan agama menjadi salah satu persoalan dalam kehidupan keberagaam di Indonesia. "Sebab, banyak pihak yang menilai pasal penodaan agama tidak sesuai dengan prinsip dasar hak-hak beragama," kata Tedi.
Tedi mempertanyakan soal definisi penodaan agama. "Apakah agama bisa dinodai atau tidak?" tanya Tedi.
Kandidat doktor sosiologi agama Universitas Kristen Satya Wacana ini memperkirakan dalam kasus-kasus yang dianggap penodaan agama selalu ada tekanan kelompok umat Islam tertentu.
ROFIUDDIN
Berita lain:
43 Aliran Kepercayaan di Jawa Tengah Hilang
Ketika Penganut Samin Dapat E-KTP
Anak Samin Dijebak Mengakui Agama
Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan Tidak Bisa Ikut E-KTP
Aturan Perkawinan Penganut Aliran Kepercayaan Segera Terbit
Sunni dan Syiah Indonesia Percaya Imam Mahdi