TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengatakan tak memiliki batas waktu untuk meneliti laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang pelanggaran HAM yang terjadi pada kurun waktu 1965-1966. "Tugas kami hanya meneliti. Kalau bukti kurang, ya, kami kembalikan ke Komnas HAM. Tapi, kalau semua sudah cukup, ya, kami tingkatkan ke penyidikan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi Nirwanto, saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jumat 28 September 2012.
Sampai saat ini Kejaksaan Agung masih intensif meneliti laporan tersebut. Menurut Andhi, tugas Kejaksaan Agung kali ini sangatlah berat. Pasalnya, kasus ini sudah terjadi puluhan tahun silam. "Berkasnya saja ada dua kardus besar. Jadi, memang makan waktu," kata dia.
Sementara itu, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MAPPI FH UI) menyesalkan pernyataan Kejaksaan Agung. Menurut MAPPI, pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebutkan tak punya batas waktu untuk meneliti laporan Komnas HAM akan membuyarkan semangat penegakan HAM di Indonesia.
"Tidak diprosesnya secara serius perkara pelanggaran HAM ini akan menimbulkan ketidakadilan dari sisi korban dan keluarga. Kejaksaan Agung harus serius menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM pada tahap penyidikan dan penuntutan," kata Ketua Harian MAPPI, Choky Risda Ramadhan, saat dihubungi Tempo, hari ini.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah membentuk tim jaksa peneliti untuk mengevaluasi laporan pelanggaran HAM peristiwa pembantaian simpatisan PKI tahun 1965-1966. Tim tersebut dipimpin langsung oleh JAM Pidsus Andhi Nirwanto dan Direktur Penyidikan Pidsus, Arnold Angkouw, sebagai wakil ketua tim.
Komnas HAM menyatakan peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia itu merupakan pelanggaran HAM berat. "Setelah melakukan penyelidikan selama 4 tahun, berdasarkan bukti dan hasil pemeriksaan saksi, terjadi sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Investigasi Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis.
INDRA WIJAYA